Rabu, 24 Mei 2017

pengertian bimbingan dan pembelajaran

1. Pengertian Bimbingan dan Pembelajaran Menurut Rochman Natawijaya, “bimbingan dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, agar individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri”. (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 2). Adapun menurut Moh. Surya, bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang di bombing agar tercipta kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan dirim pengarahan diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 2). Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang agar mereka itu dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mandiri. (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 3). Pembelajaran merupakan suatu usaha (mengajar) yang bisa mendorong seseorang untuk belajar. Menurut Gagne dan Briggs mengartikan “pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar. Di dalamnya berisi serangkaian peristiwa yang dirancang untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa”. (E.Kosasih, 2012: 11). Adapun pendapat lainnya menurut Mohammad Surya (2004:9), “pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Menurut Atkinson dalam bukunya Baharuddin (2009: 177), mengusulkan empat kriteria yang harus diperhatikan dalam pembelajaran yaitu: 1. Model proses pembelajaran. 2. Spesifikasi bagi model pembelajaran yang dapat diterima. 3. Spesifikasi tujuan pembelajaran. 4. Skala ukur yang ditandai pada masing-masing tujuan pembelajaran. 5. Ciri-ciri Program Bimbingan dan Konseling Suatu program hendaknya disusun dengan berorientasi kepada tujuan, cara, dan sumber yang dipadukan sedemikian rupa untuk dapat menangani masalah-masalah yang dihadapi . Hasil penelitian dari Kartadinata, menunjukkan bahwa program bimbingan di sekolah akan berlangsung secara efektif, apabila didasarkan pada kebutuhan nyata dan kondisi objektif perkembangan peserta didik. Hal ini menunjukkan diperlukannya needs assessment terhadap kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik pada suatu intitusi serta memahami perkembangan. Ketepatgunaan program yang disusun, akan menjadi alat bagi terjalinnya bimbingan sebagai suatu proses membantu individu untuk mencapai perkembangan yang optimal. Program bimbingan yang baik adalah program yang apabila dilaksanakan akan efisien dan efektif. Menurut Miller suatu program dikatakan baik jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Program itu disusun dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan yang nyata dari para siswa sekolah yang bersangkutan. 2. Kegiatan bimbingan dalam program itu diatur menurut skala prioritas yang juga ditentukan berdasarkan kebutuhan siswa dan kemampuan petugas bimbingan. 3. Program itu dikembangkan berangsur-angsur dengan melibatkan semua tenaga pendidik di sekolah dalam merencanakannya. 4. Program itu memiliki tujuan ideal tetapi realistik dalam pelaksanaannya. 5. Program yang disusunnya mencerminkan komunikasi yang berkesinambungan diantara semua anggota staf pelaksananya. 6. Program itu menyediakan fasilitas yang diperlukan. 7. Program yang disusun disesuaikan dengan program pendidikan lingkungan sekolah yang bersangkuatan. 8. Program itu memberi kemungkinan pelayanan kepada semua siswa sekolah yang bersangkutan. 9. Program itu memperlihatkan peranan yang penting dalam menghubungkan dan memadukan sekolah dengan masyarakat. 10. Program itu berlangsung sejalan dengan proses penilaian diri, program itu sendiri, kemajuan dari siswa yang dibimbingnya, serta mengenai kemajuan pengetahuan, keterampilan dan sikap para petugas pelaksananya. 11. Program itu menjamin keseimbangan dan kesinambungan pelayanan bimbingan. http://www.te2n.com/ciri-ciri-program-bimbingan-dan-konseling-yang-baik 6. Modalitas Belajar Peserta Didik Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru seyoginya memperhatikan karakteristik peserta didiknya agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan. Karakteristik peserta didik sesungguhnya memiliki cakupan yang luas yakni meliputi aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, dan latar belakang sosial-budaya sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Salah satu karakteristik peserta didik yang perlu dikenali guru dan akan mewarnai efektivitas belajar dan pembelajaran adalah berkenaan dengan gaya belajar peserta didik. Bila gaya belajar peseta didik sudah dikenali, maka guru akan menjadi efektif dalam menentukan strategi atau metode pembelajaran, sehingga dengan demikian peserta didik akan belajar dengan lebih mudah dan menyenangkan. (http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=259:gaya-belajar&catid=42:widyaiswara&Itemid=203) Banyak guru ketika mengajar menggunakan strategi atau metode pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar guru tersebut dan tidak menyesuaikan dengan gaya belajar peserta didiknya. Padahal kita tidak bisa memaksakan peserta didik harus belajar dengan suasana dan cara yang kita inginkan karena masing-masing peserta didik memiliki cara yang berbeda dalam menyerap dan mengolah informasi yang diterimanya. Ada yang belajar lebih cepat dengan mendengarkan, ada yang lebih mudah dengan membaca ataupun mengamati, dan ada pula yang lebih paham jika bereksperimen, dan sebagainya. Ini sangat tergantung pada gaya belajar peserta didik tersebut. Oleh karena itu, pemilihan strategi atau metode pembelajaran harus disesuaikan dengan gaya belajar peserta didik. Apakah sesungguhnya gaya belajar itu? Menurut Lucy belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses, dan mengerti suatu informasi. Sementara menurut Bobby DePorter terdapat dua benang merah yang disepakati tentang gaya belajar ini. Pertama adalah cara seseorang menyerap informasi dengan mudah atau sering disebut sebagai modalitas. Kedua adalah cara orang mengolah dan mengatur informasi tersebut. Modalitas dalam belajar dibagi dalam tiga kelompok, yaitu; belajar dengan melihat (Visual Learning), belajar dengan mendengarkan (Auditory Learning), dan belajar dengan melakukan (Kinestethetic Learning). (http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=259:gaya-belajar&catid=42:widyaiswara&Itemid=203). Menurut Vernon A.Magnesen dalam Quantum Teaching, siswa belajar 10 % dari yang siswa baca, 20% dari yang siswa dengar, 30 % dari yang siswa lihat, 50% dari yang siswa lihat dan dengar, 70% dari yang siswa katakan, dan 90% dari yang siswa katakan dan lakukan. (E. Kosasih, 2012: 39). Visual Learning adalah gaya belajar dengan cara melihat, sehingga mata memegang peranan penting. Siswa ini lebih menyenangi cara belajar yang mencatat di papan tulis, guru yang memeragakan suatu kegiatan, ataupun menghadirkan berbagai materi-materi visual lainnya. (E.Kosasih, 2012: 50). Menurut Brin Best (2003: 78), Sekitar 29 % orang merupakan tipe pembelajar visual. Mereka cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Mereka lebih suka berbicara dengan orang secara tatap muka. 2. Mereka berbicara dengan cepat dan tidak suka mendengarkan orang lain. 3. Mereka sering lupa pada nama namun mengingat wajah. 4. Saat non-aktif mereka cenderung mencorat coret atau memperhatikan sesuatu atau seseorang. 5. Mereka berpakaian dengan rapih, apik, dan teratur. Aktifitas yang cocok untuk tipe pembelajaran visual adalah sebagai berikut: 1. Menuliskan fakta-fakta kunci atau membuat pemetaan pikiran. 2. Memvisualisasikan apa yang telah mereka pelajari. 3. Membuat gambar atau diagram dari apa yang telah mereka pelajari. 4. Menggunakan garis waktu untuk mengingat tanggal-tanggal. Auditory Learning adalah gaya belajar yang dilakukan seseorang untuk memperoleh informasi dengan memanfaatkan indra telinga. Oleh karena itu, mereka sangat mengandalkan telinganya untuk mencapai kesuksesan belajar, seperti mendengarkan ceramah, radio, berdialog, berdiskusi dan sebagainya. Siswa ini memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memberdayakan kemampuan mendengar. (E.Kosasih, 2012: 49). Menurut Brint Best (2003:74) Sekitar 34% orang merupakan tipe pembelajar auditori. Mereka cenderung memiliki karakteristik seperti: 1. Mereka lebih suka berbicara dengan orang lain melalui telepon. 2. Mereka suka mendengarkan orang lain tapi juga bersemangat untuk berbicara. 3. Mereka sering lupa akan wajah namun akan mengingat nama. 4. Mereka tidak terlalu suka membacabuku atau petunjuj manual. 5. Saat bersantai mereka lebih memilih mendengarkan musik. Aktifitas yang cocok untuk tipe pembelajar auditori adalah sebagai berikut: 1. Mendengarkan presentasi atau penjelasan. 2. Membaca keras-keras untuk dirinya. 3. Merangkum secara lisan dalam bahasa mereka sendiri. 4. Menjelaskan subjek pelajaran kepada siswa lain. Kinesthetic learning adalah cara belajar yang dilakukan seseorang untuk memperoleh informasi dengan melakukan gerakan, sentuhan, praktik atau pengalaman belajar secara langsung. Siswa bergaya belajar kinestetik lebih menyukai praktik daripada teori. Dia lebih mudah memahami pelajaran-pelajaran yang di sampaikan melalui demonstrasi atau peragaan dan dia sendiri melakoninya secara langsung. Pemahamannya tentang satu konsep ia asosiasikan dengan gerakan tertentu. Ekspresi guru yang bisa menghidupkan suasana belajar juga sangat membantu siswa bergaya belajar kinestetik. Ekspresi wajah yang menggambarkan emosi tertentu bagi siswa bergaya belajar kinestetik memberikan pengalaman tersendiri yang sangat berkesan. (E.Kosasih, 2012: 52). Menurut Brin Best (2003: 76), sekitar 37% orang merupakan tipe pembelajar kinestetis. Mereka cenderung memiliki karakteristik seperti: Mereka lebih suka berbicara dengan orang lain sambil melakukan sesuatu. 1. Mereka berbicara lambat-lambat dengan menggunakan bahasa tubuh dan ekspresi. 2. Saat non-aktif, mereka cenderung gelisah. 3. Saat marah mereka mengepalkan tangan, menggertakan gigi dan menyerang. Aktifitas yang cocok untuk tipe pembelajar kinestetis adalah sebagai berikut: 1. Meniru sebuah peragaan. 2. Membuat model. 3. Merekam semua informasi yang mereka dengar, lebih bagusnya dengan cara pemetaan pikiran. 4. Berjalan-jalan saat membaca. 5. Terlibat secara fisik dan aktif dalam pembelajaran. 6. Model Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang di dorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas di arahkan kepada kemampuan anak untuk menghapal informasi, atau anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa di tuntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka miskin aplikasi. Untuk itu diperlukannya beberapa model pembelajaran berbasis bimbingan agar peserta didik dapat berperan aktif dan suasana pembelajaran lebih hidup. Menurut Wina Sanjaya (2006: 240) ada beberapa model pembelajaran berbasis bimbingan, di antaranya ialah sebagai berikut: 1. Strategi Pembelajaran Koorperatif (Coorperative Learning) Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam strategi pembelajaran koorperatif, yaitu: 1. Adanya peserta dalam kelompok. 2. Adanya aturan kelompok. 3. Adanya upaya pembelajaran setiap anggota kelompok. 4. Adanya tujuan yang harus dicapai. Peserta adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran dalam setiap kelompok pembelajaran. Pengelompokan siswa bisa ditetapkan berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya pengelompokan yang didasarkan atas minat dan bakat siswa, pengelompokan yang didasarkan atas latar belakang kemampuan, pengelompokan yang didasarkan atas campuran baik campuran tinjauan dari minat maupun campuran tinjauan dari kemampuan. Pendekatan apapun yang digunakan, tujuan pembelajaran haruslah menjadi pertimbangan yang utama. Pembelajaran koorperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan system pengelompokan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Pembelajaran koorperatif berbada dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. Tujuan yang ingi dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerjasama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran koorperatif. 5. Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching&Learning) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suaru strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Sehubungan dengan hal itu, terdapat 5 karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggubakan proses CTL, yaitu: 1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating kwonledge) artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari prngetahuan yang dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. 2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring kwonledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinta pembelajaran dimulai dengan mempelajari pelajaran secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya. 3. Pemahaman pengetahuan (understanding kwonledge), artinya pegetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk difahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperoleh ya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. 4. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying kwonledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat di aplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa. 5. Melalukan refleksi (reflecting kwonledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik sebagai proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. Menurut Elaine B. Johnson (2011: 35), pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktifitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. 6. Strategi Pembelajaran Ekspositori Strategi ini adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pembelajaran secara optimal. Menurut Roy Killen menamakan strategi ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct instruction) karena dalam strategi ini materi pembelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu. Materi pembelajaran seakan-akan sudah jadi. Oleh karena itu, strategi ini lebih menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga dinamakan istilah strategi “chalk and talk”. Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori. Pertama, strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran seacra verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang mengidentikannya dengan ceramah. Kedua, biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus di hafal, sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan. 7. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri utama dari SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. SPBM tidak mengharapkan siswa hanya mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir dedukatif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berfikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; Sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah yang didasarkan pada fakta dan data yang jelas. Untuk mengimplementasikan SPBM, guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku text atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan. 8. Strategi Pembelajaran Afektif Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa ditanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah. Kita tak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa dan sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar. 9. Strategi Pembelajaran Inkuiri Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berfikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa yunani, yaitu heurikein yang berarti saya menemukan. SPI berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri penemuannya. Rasa ingin tahu keadaan alam disekitarnya merupakan kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indra pengecapan, pendengaran, penglihatan dan indra-indra lainnya. Hingga dewasa keinginan manusia secara terus-menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna (meaningfull) manakala didasari oleh keingintahuan itu. Dalam rangka itulah strategi inkuiri dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar