Rabu, 24 Mei 2017

Dinasti Fatimiyah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-VII dan ke-VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah. Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah sejarah munculnya dinasti Fatimiyah? 2. Capaian apakah yang telah diraih dinasti Fatiimiyah ketika berada di puncak kejayaan? 3. Faktor apa saja yang melatar belakangi runtuhnya dinasti Fatimiyah? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya dinasti Fatimiyah, pun termasuk dimana dinasti Fatimiyah berada di masa keemasannya serta faktor-faktor keruntuhan dinasti Fatimiyah. 2. Menambah wawasan mengenai peradaban Islam di masa lampau. D. Metode Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah Studi Pustaka yaitu “Pengumpulan keterangan-keterangan dari berbagai literature sebagai bahan perbandingan atau acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji.” (Usep, 2011: 20). Sekilas Tentang Dinasti Fatimiyah Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi. Fatimiyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad SAW). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi (297-322). Dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, A. Syalabi menjelaskan bahwa kaum Syi’ah yang bertahan sampai sekarang ada tiga kelompok, yaitu: Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, dan Syi’ah Ismailiyah. Mazhab Isma’iliyah menisbahkan dirinya kepada imamiyah dan menyetujui penentuan keenam orang imam-imam yang pertama diantara kedua belas imam-imam tersebut. Menurut pendapat mereka, sesudah Ja’far as Shadiq yaitu imam yang keenam, maka imamah tidak berpindah kepada puteranya Musa al Kazhim, seperti yang dikatakan oleh golongan Itsna Asyariyah, melainkan berpindah ke puteranya yang lain, bernama Ismail. Itulah sebabnya golongan ini dinamakan Isma’iliyah.Imam-imam golongan Isma’iliyah ini sesudah Isma’il itu tidak pernah muncul. Yang muncul hanyalah juru-juru dakwah mereka . Sebab itu imam-imam yang tidak pernah muncul tersebut dinamakan “Al A’immatul Masturun”. Imam-imam Isma’iliyah barulah muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika Utara pada tahun 297H/909M, kemudian mereka berpindah ke Mesir, dimana mereka mendirikan “Daulah Fatimiyah” pada tahun 356 H. Agar mendapat gambaran yang lebih jelas di bawah ini dipaparkan silsilah keduabelas imam syiah.2 Jika diperhatikan pada silsilah tersebut, maka yang termasuk Al A’immatul Masturun adalah Muhammad ibnu Ismail sampai dengan Husain ibnu Ahmad. Kemudian muncul kembali sejak Abdullah al Mahdi. A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang dikutip oleh Abdul Gaffar, menyatakan bahwa sekte syi’ah sudah lama mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, namun mereka selalu mendapatkan tekanan politik dari dinasti Umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam. Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan menggunakan dua model gerakan. 1. Gerakan militan (sembunyi-sembunyi) Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya suku Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut pulang ke Tunisia. 2. Gerakan frontal (terang-terangan) Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota. Ibrahim Ahmad Adawi dalam bukuhya Tarikh al-‘Alam al-Islami yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara). Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Bosworth dalam bukunya Dinasti-dinasti Islam menjelaskan khalifah pertama Fathimiyah, Ubaydillah, datang dari Suriah ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Berber Ketama,dia menumbangkan gubernur-gubernur Aghlabiyyah di Iffriqiyah dan Rustamiyah. Sunanto menjelaskan Afrika Utara sampai tahun 850 M dikuasai oleh bani Aghlab, meliputi wilayah Ifriqiyah (Tunisia) dan sebagian pulau Sisilia, merupakan negara bagian daulah Abbasiyah. Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan bahwa dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar amir. untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti Fatimiah. Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu menyebabkan Islam di bawah 3 penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad, khalifah Umayyah di Cordova dan khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah. Selama berkuasa dari tahun 909 M. hingga tahun 934 M, Ubaidillah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mampu dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi penguasa tertinggi, dia membunuh panglima dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i. Setelah itu, dia memperluas kekuasannya sampai hampir meliputi seluruh wilayah Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah hingga perbatasan Mesir. Pada tahun 914, dia berhasil menguasai Iskandariyah, dua tahun berikutnya wilayah delta berada dalam kekuasaannya. Kemudian dia mengirimkan seorang gubernur Baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya pernah merasakan kedahsyatan armada yang diwarisi dari dinasti Aghlabiah. Sekitar 920, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke ibukota baru al Mahdiyah yang didirikan di pesisir Tunisia, sekitar 27,2 kilometer ke arah tenggara kota Kairawan, dan dinamai dengan namanya sendiri. Pasca wafatnya Ubaidillah, pemerintahan diambil alih oleh puteranya yaitu Abu al-Qasim Muhammad al-Qaim yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946 M. kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 934 atau 935, dia mengirim armada untuk menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria. al Qaim berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi tidak berhasil. Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952 M. Penaklukkan Mesir berhasil dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada tahun 952-975 . Penyerbuan ke Mesir itu didahului dengan penyerbuan pantai Spanyol, yang khalifahnya pada waktu itu al-Nashir. Tiga tahun kemudian (958), tentara Fatimiyah maju menuju Atlantik. Baru pada tahun 969 Mesir dapat direbut dari penguasa Ikhsidiyah. Pahlawan penting dalam penyerbuan ini adalah Jawhar al-Shiqilli berkebangsaan Sisilia atau Yunani. Ikhsidiyah merupakan bagian Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Mesir dan Suriah 323-58/935-69, yang saat ditaklukkan oleh Jenderal Fathimiyah Jawhar pada tahun 969 M, ikhsidiyah berpusat di Fusthat dipimpin oleh Ahmad ibnu Kafur yang lemah (968-969). Sejak kemenangannya atas ibu kota Fusthat pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan Masjid Agung al-Azhar pada tahun 972, yang dikemudian hari oleh Khalifah al- Aziz dikembangkan menjadi universitas besar. Kemudian Jawhar membuat markas baru dengan nama al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini Kairo modern kemudian menjadi pusat kota dinasti Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan mengirimkan seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan kota Damaskus. Berikut adalah para khalifah dinasti Fatimiyah: 1. Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah. 2Abu al-Qasim Muhammad al-Qa’im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946). 3. Isma’il al-Mansur bi-llah (946-952). 4. Abu Tamim Ma’add al-Mu’iz li-Din Allah (952 M – 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya. 5. Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah (975 M – 996 M). 6. Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M – 1021 M). 7. Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021 M – 1036 M). 8. Abu Tamim Ma’add al-Mustanhir bi-llah (1036 M – 1094 M). 9. Al-Musta’li bi-Allah (1094 M-1101 M). 10. Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M – 1130 M) 11. Abd al-Majid (1130 M – 1149 M). 12. Al-Wafir (1149 M – 1154 M). 13. Al-Fa’iz (1154 M – 1160 M). 14. Al-‘Adid (1160 M – 1171 M). Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan DinastiFatimiyah selama 200 tahun lebih berakhir. B. Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah Puncak kejayaan dinasti Fatimiyah dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, juga di masjid-masjid di Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan Mosul. Ia adalah khalifah Fathimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan pamor penguasa Bagdad. al-Aziz rela menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak kalah megah dari istana Abbasiyah. al-Aziz merupakan khalifah yang paling bijaksana dan murah hati diantara para khalifah Fatimiyah.14 Kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari keadaan pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer, bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai. Kemajuan peradaban pada masa dinasti Fatimiyah adalah sebagai berikut: 1. Kondisi Sosial Para khalifah Fatimiyah bersikap toleran dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim. Misalnya para pemeluk agama Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana. Bahkan pada masa al Aziz mereka ditunjuk menduduki jabatan di istana. Begitu pula pada jaman al-Mustansir dan seterusnya, sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kristen. Hanya Khalifah al Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Sebagian besar khalifah Fatimiyah berpola hidup mewah dan santai. Misalnya al-Mustansir mendirikan paviliun di istananya, sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan. Nashir al-Khusraw, seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir pada tahun 1046-1049 M, memberikan catatan bahwa kota Kairo sebagai kota makmur dan aman. 2. Bidang Administrasi Pemerintahan Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Fatimiyah sebagian besar tidak berbeda dengan administrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan duniawi maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Kementerian Negara (wasir) terbagi menjadi dua kelompok yaitu: ahli pedang dan ahli pena. Para ahli pedang menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang para ahli pena menduduki beberapa jabatan sebagai berikut: a. Hakim; b. Pejabat Pendidikan sekaligus pengelola lembaga ilmu pengetahuan; c. Inspektur Pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan; d. Pejabat Keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara; e. Regu Pembantu istana; f. Petugas Pembaca al-Quran. Sedangkan di luar jabatan istana di atas,terdapat berbagai jabatan tingkat daerah, meliputi daerah Mesir, Siria dan Asia Kecil. Dalam bidang kemiliteran, terdapat tiga jabatan pokok, yaitu: a. Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer; b. Petugas keamanan; c. Berbagai Resimen. Pusat-pusat armada laut dibangun di beberapa tempat dan masing-masing dikepalai oleh Admiral Tinggi. • .Doktrin Keimaman Doktrin Imamah bagi Syi’ah tidak hanya dalam hal theologis, tetapi juga berlaku pada bidang politik. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hak Ahl al-Bait yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Sekte Syi’ah yang ekstrem malah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar, serta khalifah setelahnya tidak berhak menjadi khalifah. Sehingga mereka menempuh berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan untuk memperjuangkan hal tersebut. Termasuk berdirinya Dinasti Fatimiyah juga dilatarbelakangi oleh doktrin ini. Pemerintahan Fatimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Hal ini berarti bahwa agama dijadikan sebagai motivasi kebangkitan melawan rezim yang mapan.Selanjutnya simbol-simbol keagamaan, khususnya yang terkait dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti membangun masjid al-Azhar dan al-Hakim, dengan menara kubah yang menjulang tinggi menggambarkan ketinggian para Imam. Juga penghormatan para Imam disejajarkan dengan penghormatan para Syuhada dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, sepertri makam Husein di Mesir, dalam rangka memberi kesan pada umum atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka pada tahun 1153 M. kepala Husein yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawiyah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu dibangunlah makam Sayyidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein. Doktrin keimaman yang lain yaitu bahwa para Imam dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dibuat oleh manusia biasa. Doktrin ini selanjutnya digunakan oleh para khalifah untuk melegitimasi keagamaan pada dirinya. Sebagai contoh, Ubaidillah al-Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari nama asli Sa’id bin Husain al-Salamiyah, yang dengan gelar ini menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Ismailiyah. Dengan gelar ini pula akan menimbulkan kesan bahwa sang khalifah adalah seorang Imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal. Imam dalam doktrin Syi’ah juga bersifat messianistik (mahdiisme). Yakni ia dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa mengalami konflik berkepanjangan. Misalnya, di akhir zaman nanti akan muncul sang penyelamat al-Mahdi yang akan membawa umat manusia terselamtkan dari keadaan yang rusak. Karena itu gelar al-Mahdi yang sering dipakai para khalifah mempunyai kandungan maksud sang penyelamat. Termasuk dalam hal ini gelar Ubaidillah al-Mahdi. Sebagai akibat doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fatimiyah bercorak militan, khususnya di awal kemunculannya. Selanjutnya pemerintahannya bercorak keagamaan untuk memperoleh dukungan rakyat. • Penyebaran Faham Syi’ah Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan al-Mu’iz menganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Mu’iz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan Suni dan hakim dari kalangan Syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syi’ah; dan Sunni hanya menduduki jabatan-jabatan yang rendahan. Pada tahun 379 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama, dan militer diduduki oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiah yang Suni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningk 3. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada Dinasti Fatimiyah di Mesir adalah Ibn Killis. Beberapa ilmuwan lainnya pada jaman ini yaitu sebagai berikut. • Muhammad al-Tamim, seorang dokter. • Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi dan Ibnu Salamah al-Qudha’i’, sejarawan. • Ali ibn Yunus, seorang astronom hebat. • Abu Ali al-Hasan dan Ibn al-Haitsam, ilmuwan fisika dan optik. • Ibn Muqlah, ahli kaligrafi. Pada masa al-Aziz Masjid Agung al-Azhar dikembangkan menjadi universitas. Pada masa al-Hakim dibangun Dâr al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dâr al-‘Ilm (rumah ilmu). Dalam gedung ini terdapat perpustakaan yang di dalamnya kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Di Mukatam al-Hakim membangun sebuah observatorium. Beberapa karya buku pada jaman Fatimiyah, yaitu sebagai berikut. • Kitab al-Manazhir, mengenai ilmu optik ditulis oleh Ibnu al-Haitsam. • Al-Muntakhab fi ‘ilaj al-‘Ayn, tentang penyembuhan mata ditulis oleh Ammar ibn Ali al-Maushili. • Militer Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan bahwa dinasti Fatimiyah dalam bidang militer menggunakan tentara bayaran sebagai penopang utama pemerintahannya. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur. 4. Ekonomi Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan bahwa untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs. Sementara pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia. Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak. Hubungan perdagangan dengan dunia non-Islam dibina, termasuk India dan negeri-negeri Mediterania yang Kristen. Pada masa ini, dari Mesir dihasilkan sebagian produk seni Islam yang terbaik. 5. Seni Beberapa karya seni dinasti Fatimiyah antara lain papan kayu berukir, yang digambari lukisan beberapa mahluk hidup seperti rusa yang diserang oleh monster, kelinci yang diterkam oleh elang, dan beberapa pasang burung yang saling berhadapan. Juga karya dari bahan perunggu dalam bentuk cermin dan pedupaan. Koleksi perunggu yang yang paling terkenal adalah patung griffin, tingginya 40 inchi, yang sekarang berada di Pisa. Periode Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir, kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah. Juga ditemukan produk tekstil bermotif hewan dengan pose konvensional. Seni keramik mengikuti pola-pola Iran dan bergaya Cina. Juga seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi penjilidan paling pertama dalam dunia Islam. 6. Arsitektur Salah satu bukti arsitektur pada jaman Fatimiyah adalah berdirinya Masjid al-Azhar yang dibangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M. Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan gaya masjid Ibnu Tulun yang memiliki sudut mihrab, dengan menara berbentuk bundar konvensional. Di masjid al-Aqmar dapat dilihat figur awal, yang kelak menjadi ciri khas arsitektur islam, yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. B. Kemunduran Dinasti Fatimiyah Dinasti Fatimiyah mengalami masa keemasan sejak ibu kotanya dipindah dari Mahdiah di Tunisia ke Kairo di Mesir pada jaman al-Muiz pada tahun 973 M hingga periode kekhalifah al-Aziz (975-996). Jadi dinasti Fatimiyah mengalami kejayaan selama 23 tahun. Sepeninggal al-Aziz khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu al-Mansur al-Hakim yang masih berusia sebelas tahun. Selama bertahun-tahun al-Hakim di bawah pengaruh seorang gubernurnya yang bernama Barjawan. Barjawan terlibat konflik dengan panglima militer Ibnu Ammar. Setelah berhasil menyingkirkan panglima, Barjawan menjadi pelaku utama pemerintahan al-Hakim. Di kemudian hari al-Hakim mengambil tindakan menghukum bunuh terhadap Barjawan lantaran penyalahgunaan kewenangan negara. Tindakan-tindakan kejam yang menakutkan dari al-Hakim (996-1021) yang sangat belia menjadi titik awal kegoncangan dalam dinasti Fatimiyah. al-Hakim membunuh beberapa wasir, menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama. Aturan-aturan yang merugikan non-Islam diberlakukan sehingga mulailah timbul ketidaksenangan. Pengganti al-Hakim yaitu al-Zahir (1021-1035) berumur enam belas tahun ketika naik tahta. al-Zahir merestui pembangunan kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan suci sehingga namanya disebutkan di masjid-masjid kekuasaan Konstantin VIII. Pengganti al-Zahir adalah al-Mustanshir (1035-1094), yang berkuasa hampir enam puluh tahun diangkat pada usia 11 tahun, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Fatimiyah mulai melepaskan diri seperti Suriah, Palestina dan kota-kota di Afrika. Banu Saljuk dari Turki membayang-bayangi kekuasaannya, Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed memberontak dan bangsa Normandia merongrong hingga di pedalaman Afrika. Sejak masa kekuasaan al-Mustanshir kekacauan terjadi dimana-mana. Kekuasaan negara lumpuh, kelaparan terjadi selama tujuh tahun sehingga perekonomian negara juga lumpuh. Pengganti al-Mustanshir terus-menerus dirundung pertikaian hingga tidak dapat membendung kemunduran dinasi Fatimiyah. Berakhirnya dinasti Fatimiyah terjadi pada khalifah Fatimiyah yang keempat belas yaitu al-Adhid, berumur sembilan tahun ketika naik tahta. Pada masa ini kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber kehidupan tinggal aliran sungai Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akhirnya berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjatanya yang rakus. Keadaan semakin parah dan rumit dengan datangnya pasukan perang Salib dan serangan dari Almaric, Raja Yerusalem pada tahun 1167 M telah berdiri di pintu gerbang Kairo. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1171 menurunkan khalifah Fatimiyah yang terakhir dari tahtanya. Setelah menaklukkan khalifah Fatimiyah terakhir Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi mendirikan Dinasti Ayyubiyah yang berpusat di Kairo Mesir dari tahun 1174-1252 M. KESIMPULAN Kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan frontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota yaitu: Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171. Sistem politik pada Dinasti Fatimiyah menganut doktrin keimaman Syi’ah yaitu jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hak Ahl al-Bait yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, yang dalam hal ini Dinasti Fatimiyah berasal dari Ismail, putera Imam keenam Ja’far as Shadiq. Pemerintahan Fatimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan, yaitu agama dijadikan sebagai motivasi kebangkitan melawan rezim yang mapan.Selanjutnya simbol-simbol keagamaan (Syi’ah), khususnya yang terkait dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Terbukti pada tahun 379 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama, dan militer diduduki oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiah yang Suni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat. Masa keemasan dinasti Fatimiyah dimulai sejak pindahnya pemerintahan ke Kairo Mesir pada masa Abu Tamim Ma’add al-Mu’iz li-Din Allah (952 M – 975) M dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan, , militer dengan pasukan bayaran, ekonomi dengan infrastruktur, aturan yang adil dan menjadi jalur internasional, kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan. Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim yang bertindak kejam dan sewenang-wenang, dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir dan berakhir pada masa al-Adid. Kemunduran itu karena faktor eksternal berupa rongrongan dari penguasa luar dan pertikaian internal. Juga usia khalifah yang sangat belia mulai al-Hakim hingga khalifah terakhir. DAFTAR PUSTAKA Bosworth, G.E.1993. Dinasti-dinasti Islam. terj. Ilyas Hasan.Bandung: Penerbit Mizan. Hitti, Philip K.2010. History of the Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk.Cet.II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Mubarok , Jaih.2005. Sejarah Peradaban Islam. cet. kedua.Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Nurhakim, Moh. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam. Cet. Kedua. Malang: UMM Press. Sunanto, Musyrifah.2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media. Syalabi, A.2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: Radar Jaya Offset. Yatim, Badri.1994. Sejarah Peradaban Islam II, Cet.II. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Gaffar, Abdul.2011. “Bani Fatimiyah”, dalam http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/bani-fatimiyah.html (08-12-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar