Selasa, 23 Mei 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang mukmin harus memiliki kualitas akidah yang benar, kokoh dan tangguh. Sebab, akidah mampu membentuk tabiat, perilaku dan pemikiran manusia. “Akidah yang dimaksud adalah akidah yang dipegang oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang mulia, yaitu mengamalkan rukun iman, pondasi-pondasi Islam dan makna-makna tauhid.” (Mahmud Al-Misri, 2009: 483). Kualitas akidah juga tidak hanya diukur dari kemauan seseorang untuk percaya kepada Allah SWT atau kepada yang lain seperti yang tercantum di dalam rukun iman. Namun lebih jauh dari itu, kepercayaan itu harus dibuktikan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Percaya saja tidak cukup, tapi harus diikuti dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kajian Islam, akidah berarti tali pengikat batin manusia dengan yang diyakininya sebagai Tuhan yang Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini. Akidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata tidak menerima keraguan dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu itu masih ada unsur keraguan dan kebimbangan, maka tidak disebut akidah. Jadi, akidah itu harus kuat dan tidak ada kelemahan yang membuka celah untuk dibantah. (Abdurrahim, 2014: 4). Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya agar senantiasa teguh dan konsisten (istiqamah) dalam mempertahankan akidah. Menurut Toto Suryana, (1996: 208), istiqamah adalah tegak berdiri di atas prinsip kebenaran yang diyakininya. Istiqamah merupakan sikap teguh yang mampu berdiri di atas prinsip tauhid dan mendorong dirinya untuk senantiasa konsisten dengan prinsip itu dalam kondisi dan situasi apa pun. Sejarah Islam mencatat sebuah perjuangan sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam mempertahankan akidahnya. Bilal bin Rabbah adalah seorang pemuda yang tetap berpegang teguh untuk mempertahankan keyakinannya terhadap agama Islam, meskipun ia harus merasakan siksaan berat ketika ditindih batu besar oleh majikannya yaitu Umayyah bin Khalaf di padang pasir yang sangat panas. Karena demi memperjuangkan dan mempertahankan akidahnya, kemudian Umayyah menghardik Bilal dengan perkataan “Mati atau Kufur terhadap Muhammad, yakni kembali menyembah Laata dan Uzza.” Namun semua siksaan itu, sedikit pun tidak mampu mengubah akidah yang sudah diyakininya. Dia dengan tegas menyatakan, Ahad... ! Ahad... ! Ahad... ! yang artinya Allah Maha Esa... ! Allah Maha Esa... ! Allah Maha Esa... ! Ia terus mengulanginya tanpa merasa bosan dan lelah. (Said bin Ali Al-Qathani, 1994: 88). Kisah di atas menjelaskan keteguhan hati yang luar biasa dari sosok Bilal bin Rabbah tentang sebuah perjuangan mempertahankan akidah. Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya agar senantiasa istiqamah dimana pun dan dalam keadaan apa pun. Sesuai dengan firman Allah SWT di dalam surat Hud ayat 112: فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٢ Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Depag, 2011: 234). Dalam ayat di atas, Allah SWT menjelaskan bahwa istiqamah kebalikan dari sikap melampaui batas. Abu Bakar ash-Shidiq orang yang paling lurus serta yang paling istiqamah pada masanya pernah ditanya tentang makna istiqamah. Maka dia menjawab, Artinya: “Janganlah engkau menyekutukan sesuatu pun dengan Allah SWT. Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid yang murni.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 1998: 185). Nabi SAW mengabarkan kepada para sahabat bahwa istiqamah, baik yang utuh maupun mendekati utuh, bukan merupakan jaminan bahwa manusia akan selamat pada hari kiamat. Selamatnya seseorang pada hari kiamat bukan semata-mata karena amalnya saja, tetapi juga karena rahmat dan karunia Allah SWT. Namun bagaiman pun istiqamah yakni melaksanakan perintah Allah SWT dengan jujur merupakan hal penting dalam agama, sebab istiqamah berhubungan dengan niat, ucapan dan perbuatan seseorang. Orang yang senantiasa selalu istiqamah akan mendapatkan keuntungan dan faidah di dalamnya. Sesuai dengan firman Allah SWT di dalam surat Fushilat ayat 30: إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ ٣٠ Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (Depag, 2011: 480). Dalam ayat di atas, Allah SWT mengabarkan kepada hamba-Nya beberapa faidah atau buah dari istiqamah. Diantaranya, malaikat akan turun kepada mereka (yang istiqamah), mendapatkan thuma’ninah (kedamaian) dan ketenangan serta baginya kabar gembira dengan surga. Barang siapa yang tidak istiqamah dalam tingkahnya (keadaannya) tersia-sia lah perjalanannya dan rugilah kesungguhannya. Oleh karena itu, ada yang mengatakan, seseorang tidak akan mampu istiqamah melainkan orang-orang besar. Jadi, istiqamah tidak akan bisa diraih melainkan dengan cara keluar dari hal-hal yang disenangi, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dan menghadap kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Abu Qasim Al-Qusyairi (Ahmad Ibnu Hijaji, 1995: 8). Akan tetapi, kenyataannya pada zaman sekarang ini orang-orang sudah tidak bisa mempertahankan akidah dan keimanannya kepada Allah SWT. Buktinya upaya pemurtadan baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan mulai merebak di lingkungan kita. Menurut Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj berkata: “Murtad adalah memutuskan Islam dengan niat, ucapan atau pun perbuatan baik dia mengucapkannya dengan menghina, mengingkari atau pun meyakini.” (Abdul Aziz bin Muhammad, 2011: 67). Contoh dari kasus yang terjadi pada saat ini, banyak imigran Muslim di Jerman pindah agama demi suaka (mencari perlindungan) adalah: REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN_ Sebuah laporan menyatakan, banyak imigran Muslim di Jerman yang memilih pindah agama (murtad). Mereka percaya, berpindah agama merupakan kunci untuk menghindari deportasi. Laporan The Associated Press pada Jum’at (4/9) mengungkapkan, banyak dari mereka memilih hal itu hanya agar tetap berada di Eropa. Mereka percaya label Kristen atau setidaknya murtad dari Islam menjadi kunci mendapatkan suaka di sana. Jumlah pencari suaka yang datang ke Jerman mencapai rekornya dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2015 saja, para ahli memprediksi ada 800 ribu pengungsi baru yang akan tiba. Setelah tiba di Jerman, para imigran harus meyakinkan pihak berwenang untuk memungkinkan mereka tinggal. Mereka yang berasal dari Syuriah, hampir dijamin diklasifikasikan sebagai pengungsi. Namun, mereka yang berasal dari negara yang lebih stabil seperti Afghanistan kerap beralih. Badan pemerintahan mengatakan, mereka mengevaluasi setiap calon secara individual. Namun mereka tidak mengatakan berapa banyak yang diterima atas dasar agama. Beberapa orang tertentu terkenal bisa membantu mereka yang ingin pindah agama dengan cepat. Salah satunya Bapak Gottfried Martens dari Gereja Trinity di Berlin. Banyak yang mengklaim bahwa ia hanya butuh orang untuk belajar selama tiga bulan dan akan membantu orang mendapat suaka. Akibatnya, Gereja Trinity sendiri telah mengonversi ratusan pencari suaka yang sebagian besar dari Iran dan Afghanistan. Bapak Martens mengatakan bahwa dia tidak peduli alasan orang berpindah agama asal bisa membawa mereka ke Gereja. “Saya tahu ada lagi orang yang datang ke sini karena mereka memiliki semacam harapan mengenai suaka mereka. Saya mengundang mereka untuk bergabung dengan kami, karena saya tahu bahwa siapa pun yang datang ke sini tidak akan ditinggalkan tanpa perubahan”, ujarnya. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/09/04/-banyak-imigran-muslim-di-Jerman-pindah-agama-demi-suaka-1416976316). Dalam kasus di atas, seseorang yang memiliki keterbatasan ekonomi, tidak memiliki pekerjaan dan pendidikan menjadi sasaran empuk bagi umat non Muslim. Dengan iming-iming terpenuhinya kebutuhan hidup, disediakannya pekerjaan yang layak dan memperoleh pendidikan yang memadai asal berpindah agama menjadi fenomena yang umum terjadi di sekitar kita, bahkan sampai menjalin perkawinan beda agama. (Abdul Halim Al-Fathani, 2008: 282). Yang diincar adalah pemuda-pemudi Islam yang mudah dipengaruhi oleh kesenangan duniawi sesaat. Keterbatasan semacam ini membuat hati mereka was-was, sedih dan khawatir tidak memperoleh kebahagiaan hidup, seperti imigran Syuriah yang rela pindah agama demi mendapatkan suaka (perlindungan). Padahal, istiqamah membawa kepada kemuliaan hidup yang lebih hakiki kelak. Karena melihat fenomena yang sekarang ini terjadi, penulis merasa khawatir jika karya tulis ilmiah ini tidak ditulis. Sebab, zaman sekarang orang-orang sudah tidak bisa mempertahankan akidahnya secara utuh, tidak seperti zaman para sahabat dahulu contohnya Bilal bin Rabbah yang teguh mempertahankan akidahnya meski dia rela disiksa dan dihardik oleh majikannya. Dengan latar belakang dan permasalahan di atas penulis merasa tertarik untuk membahas tentang istiqamah Bilal bin Rabbah. Sebab, Bilal memiliki keutamaan dalam hal keteguhan hatinya membela agama Allah SWT meski pun ia seorang budak, yang mana hal tersebut tidak di miliki oleh sahabat lain. Dan dengan perantara Karya Tulis Ilmiah ini penulis mengangkat judul “MENELADANI SIKAP ISTIQAMAH BILAL BIN RABBAH DALAM SEGI AKIDAH.” Semoga dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian istiqamah? 2. Mengapa kita harus istiqamah? 3. Bagaimana meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam segi akidah? 4. Bagaimana langkah-langkah menjadi pribadi istiqamah? C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum a. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan jenjang Mua’llimin Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango. b. Untuk memperluas wawasan keilmuan bagi penulis khususnya dan bagi para penbaca umumnya. c. Agar dapat menjadi uswah bagi kita dalam meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam segi akidah. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengertian istiqamah b. Untuk mengetahui keutamaan istiqamah c. Untuk meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam segi akidah. d. Untuk mengetahui kiat menjadi pribadi istiqamah D. Manfaat Penulisan 1. Teoritis Secara teoritis penulis berharap bahwa dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi umat muslim dengan lebih memahami dan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang istiqamah Bilal bin Rabbah. 2. Praktis a. Bagi Santri Penulis berharap dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang makna istiqamah yang sebenarnya dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. b. Bagi Asatidz Penulis berharap dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi salah satu pembahasan tentang cara istiqamah Bilal bin Rabbah. c. Bagi Masyarakat Penulis beharap dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini dapat pula bermanfaat bagi masyarakat yang membacanya serta bisa menjadi uswah dan panutan atas sikap istiqamah nya Bilal bin Rabbah. E. Metode dan Teknik Penulisan Adapun metode yang digunakan dalm Karya Tulis Ilmiah ini adalah metode Historis yaitu: Metode yang merekontruksi kejadian-kejadian pada masa lalu, secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan data-data sehingga dapat ditetapkan fakta-fakta yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan dan di tafsirkan. (Usep, 2011: 19). Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah Studi Pustaka yaitu “Pengumpulan keterangan-keterangan dari berbagai literature sebagai bahan perbandingan atau acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji.” (Usep, 2011: 20). F. Sistematika Pembahasan Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis membuat sistematika pembahasan agar pembahasannya lebih jelas. Dan hal ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu: BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode dan Teknik Penulisan, Sistematika Pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang meliputi Pengertian Istiqamah, Istiqamah dalam Al-Qur’an, Istiqamah dalam Hadits, Derajat-derajat Istiqamah, Pentingnya Istiqamah, Keutamaan Istiqamah, Ciri-ciri Orang yang Istiqamah, Faktor yang dapat Meruntuhkan Sikap Istiqamah, Pengertian Akidah, Dalil Aqli dan Naqli dalam akidah, Pengertian Akidah Islamiyah, Prinsip Akidah Islamiyah, Tujuan Akidah Islamiyah, Pentingnya Akidah Islamiyah, Biografi Bilal bin Rabbah. BAB III ANALISIS, yang meliputi Definisi Istiqamah, Keutamaan Istiqamah, Cara Meneladani Sikap Istiqamah Bilal bin Rabbah dalam Segi Akidah, Langkah-langkah Menjadi Pribadi Istiqamah. BAB IV PENUTUP , yang meliputi Kesimpulan dan Saran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ISTIQAMAH A.1. Pengertian Istiqamah Istiqamah menurut bahasa berasal dari kata qaama, yang artinya berdiri atau tegak lurus. Artinya, ia berdiri tegak di suatu tempat yang tepat atau benar. Menurut istilah, istiqamah adalah bersikap teguh pendirian, konsisten, dan tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang menyimpang. (Azizah Hefni, 2015: 5). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata istiqamah berubah menjadi ‘istikamah’. Artinya adalah “Sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen”. (Depdiknas, 2008: 525). Istiqamah berarti pula keteguhan atau ats-Tsabat. Ats-Tsabat menurut bahasa adalah bentuk mashdar dari fiil madhi ثَبَتَ yang berarti tetap, ketetapan, teguh, keteguhan. Begitu pula ثُبُوْتٌ , adapun isim fail-nya adalah ثاَبِتٌ , ثَبِيْتُ, ثَبْتٌ. Jadi, tsabat adalah istiqamah atas petunjuk, memegang teguh ketakwaan, mengendalikan diri untuk menyusuri jalan kebenaran dan kebaikan, tidak berpaling ke kanan dan ke kiri mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan, serta segera kembali dan bertaubat di saat mengerjakan dosa atau condong kepada dunia. (Muhammad bin Hasan, 2000: 1). Abdul Halim Al-Fathani, (2008: 104) menjelaskan , Istiqamah adalah sikap teguh pendirian dalam ketauhidan dan secara konsisten tetap beramal shaleh. Istiqamah pula dapat diartikan lurus dalam bentuk sejalannya perkataan yang diucapkan dengan perbuatan yang dilaksanakan. Menurut Syekh Abdullah bin Jaarullah, (2010: 20) Istiqamah adalah tegak dihadapan Allah SWT dengan menjalankan hakikat kebenaran dan menunaikan janji, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, sikap, dan niat. Dengan kata lain, istiqamah adalah menempuh jalan shiraatal mustaqim (Al-Islam) dengan tidak mengurangi, tidak memperketat dan tidak memperlonggar. Adapun menurut Rachmat Ramadhana (2010: 86) “Istiqamah adalah hadirnya kekuatan untuk bersikap dan berperilaku lurus serta teguh dalam berpendirian khususnya di dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.” Abu Bakar ash-Shiddiq orang yang paling jujur serta istiqamah pada masanya pernah ditanya tentang makna istiqamah. Maka ia menjawab: “Engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.” Jadi, yang dimaksud istiqamah oleh Abu Bakar ialah tauhid yang mulus dan murni. (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 50) Imam Mujahid mengatakan bahwa “Istiqamah adalah teguh pendirian di atas syahadat (persaksian) bahwa tiada tuhan selain Allah SWT sampai mati.” (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 51). A.2. Istiqamah dalam Al-Qur’an Menurut Syekh Abdullah bin Jaarullah (2010: 58) perintah untuk ber-istiqamah dalam al-Quran ada 4 diantaranya: a. Quran Surat Hud ayat 112, Allah SWT berfirman :               Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Depag, 2011: 234) Dalam ayat di atas, Allah SWT menyuruh Rasulullah SAW dan orang-orang yang bertaubat bersamanya untuk ber-istiqamah dan melarang untuk melampaui batas dalam menjalankan perintah, serta Allah SWT memberitahukan bahwa Dia Maha Melihat terhadap amal kalian. Dalam ayat ini juga Allah SWT menjelaskan tentang istiqamah sebagai lawan dari thugyan (melampaui batas) dalam segala sesuatu. (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 41). Sedangkan menurut Azizah Hefni (2015: 8) menjelaskan bahwa kata istaqim pada ayat tersebut bermakna tetap pada jalan yang benar. Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu teguh dan konsisten di jalan Allah SWT. Perintah ini juga bisa berarti harus menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab taat pada Allah SWT adalah hal yang benar. Jadi, istiqamah adalah bentuk ketaatan atau kepatuhan. b. Qur’an Surat Al-Ahqaf ayat 13-14, Allah SWT berfirman : •                •        Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Depag, 2011: 503). Arti istiqamah berdasarkan ayat tersebut adalah teguh pada kebenaran tentang ke Esaan Allah SWT. Jika teguh atau istiqamah memegang kebenaran ini, maka Allah SWT akan memberikan ketenangan hidup dan menjauhkan dari penderitaan. Akar makna istiqamah pada kedua ayat di atas adalah sama, yakni meneguhkan diri pada kebenaran Allah SWT. Kebenaran Allah itu sendiri mencangkup kebenaran dalam hubungan vertikal (manusia dengan Allah) dan kebenaran dalam hubungan horizontal (manusia dengan manusia). (Azizah Hefni, 2015: 9). c. Qur’an Surat Fushilat ayat 30-32, Allah SWT berfirman : •       •        •                           Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Depag, 2011: 480). d. Qur’an Surat Jin ayat 16-17, Allah SWT berfirman :      •               Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar- benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat. (Depag, 2011: 573). A.3. Istiqamah dalam Hadits Menurut Azizah Hefni, (2015: 8) selain dalam al-Quran, makna istiqamah juga dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW. Di antaranya Rasulullah SAW bersabda, dari Abu Amr, Sufyan bin Abdullah r.a bercerita, aku berkata kepada Rasulullah SAW : ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لىِ فىِ الْاِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ اَسْأَلُ عَنْهُ اَحَدًا غَيْرَكَ قَالَ: قُلْ اَمَنْتُ بِا اللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ (رواه مسلم) Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam satu ucapan yang tidak aku tanyakan lagi kepada orang selainmu. Maka beliau menjawab : “Ucapkanlah ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian ber-istiqamahlah.” (HR. Muslim) (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 31). Rasulullah SAW sendiri telah memberitahukan bahwa manusia tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sesungguhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Majjah dari hadits Tsauban dari Nabi SAW bersabda: وَاسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تُحْصُوْا وَاعْلَمُوْا اَنَّ خَيْرَ اَعْمَا لِكُمُ الصَّلاَةُ وَلاَ يُحَا فِظُ عَلىَ الوُضُوْءِ اِلاَّ مُؤْمِنٌ (رواه احمد ) Beristiqamahlah kalian, dan kalian tidak akan mampu dalam menjangkaunya. Ketahuilah bahwa amalmu yang paling baik adalah shalat. Tidaklah memelihara wudhu kecuali seorang mukmin. (HR. Ahmad) (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 42). Jadi yang dituntut seorang hamba ialah istiqamah, yaitu assadaad. Jika tidak mampu, ia harus mendekatinya. Kalau tidak berarti kurang dan lalai. (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 50). Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah r.a : سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَاعْلَمُوْا اَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَا اَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ قَالُوا : وَلاَ اَنْتَ يَارَسُوْلَاللهِ ؟ قَالَ : وَ لاَ اَناَ اِلاَّ اَنْ يَتَغَمَّنِى اللهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَ فَضْلٍ (رواه مسلم) Beristiqamahlah dan dekatlah kepada istiqamah. Ketahuilah bahwasanya tidaklah sekali-kali seseorang darimu selamat dengan amalnya. Para sahabat bertanya: “Tidak juga Engkau ya Rasulullah”? Beliau menjawab: ‘Iya aku juga’. Hanya Allah SWT menyelimuti aku dengan rahmat dan karunia-Nya. (HR. Muslim) (Azizah Hefni, 2015: 9). Pada hadits di atas beliau menghimpun manzilah dan tingkatan-tingkatan agama seluruhnya dengan menyuruh istiqamah, yakni benar dalam niat, ucapan dan perbuatan. Sedangkan pada hadits Tsauban beliau memberitahukan bahwa umat manusia tidak akan mampu menjalaninya secara penuh. Oleh karena itu, beliau memindahkannya kepada muqarrabah (mendekati istiqamah) sesuai dengan kemampuan. Seperti panah yang dilemparkan, juka tidak tepat sasaran paling tidak mendekatinya. (Azizah Hefni, 2015: 9) Arti muqarrabah di sini juga adalah (mendekat) atau menyengaja tanpa berlebihan, yakni tanpa melampaui perintah dan menambahnya, dan tanpa mengurangi atau lalai. Sedangkan assadad (benar) ialah istiqamah dan tepat sasaran. Sebagian ulama berkata: Assadad artinya benar dan sesuai dalam ucapan, perbuatan, dan tujuan. (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 35). Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (2010: 186) juga berpendapat mengenai hadits yang di atas. Bahwa di dalam hadits ini Rasulullah SAW menghimpun semua sendi agama. Beliau memerintahkan istiqamah, jalan lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan di dalam hadits Tsauban beliau mengabarkan bahwa mereka tidak akan mampu melakukannya. Maka beliau mengalihkannya pada muqarrabah, atau mendekati istiqamah menurut kesanggupan mereka. Seperti orang yang ingin mencapai satu tujuan. Kalau pun dia tidak mampu mencapainya, maka minimal dia mendekatinya. Sekalipun begitu beliau mengabarkan bahwa istiqamah dan apa yang mendekati istiqamah ini tidak menjamin keselamatan pada hari kiamat. Maka seseorang tidak boleh mengandalkan amalnya, tidak membanggakannya dan tidak melihat bahwa keselamatannya tergantung pada amalnya, tapi keselamatannya tergantung dari rahmat dan karunia Allah SWT. A.4. Derajat-derajat Istiqamah Yunasril Ali (2005: 186) menjelaskan bahwa derajat istiqamah itu ada tiga, yakni menegakan segala sesuatu (taqwim) meluruskan segala sesuatu (iqamah) dan berlaku teguh (istiqamah). Taqwim adalah konsistensi diri yang berhubungan dengan jiwa, iqamah adalah konsistensi yang berhubungan dengan penyempurna hati, sedangkan istiqamah konsistensi diri yang berhubungan dengan tindakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Istiqamah adalah derajat yang menjadikan segala urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, serta memungkinkannya untuk mencapai manfaat-manfaat secara tetap dan teratur. Upaya dan perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia belaka. A.5. Keutamaan Istiqamah Azizah Hefni (2015: 14) berpendapat mengenai tiga keutamaan istiqamah, diantaranya sebagai berikut: 1. Kenaikan Derajat Kemuliaan Orang yang istiqamah akan mendapat kemuliaan disisi Allah SWT. Tatkala jiwa seseorang tidak mengimani Allah SWT dengan teguh (istiqamah), maka hidupnya tidak akan berkualitas. Namun, tatkala jiwa seseorang mengimani Allah SWT dengan teguh, maka hidupnya pasti akan berkualitas. Dan kualitas hidup yang baik akan mengantarkan seseorang pada kemuliaan. 2. Membuka Pintu Kemenangan Seseorang yang telah ber-istiqamah di jalan Allah SWT pasti memiliki tekad kuat, konsistensi, serta kepasrahan penuh kepada-Nya. Tak ada lagi keraguan di hatinya sekali pun keadaan tersulit atau terburuk sehingga menimpanya. Istiqamah telah membentengi dirinya untuk tidak terpengaruh ke jalan yang salah. 3. Dijamin Menjadi Penghuni Surga Surga adalah hadiah bagi para pelaku istiqamah. Pelaku istiqamah ialah mereka yang terus berjalan di jalan Allah SWT tanpa kenal lelah dan jenuh. A.6. Pentingnya Istiqamah Muhammad bin Hasan (2009: 9) menjelaskan bahwa istiqamah atau keteguhan hati adalah sesuatu yang mulia dan agung. Keteguhan hati pada seseorang memiliki sisi penting yang menonjol dalam upaya melakukan pendidikan kepada individu maupun masyarakat. Hal itu tampak jelas dalam tiga hal berikut ini: 1. Keteguhan Hati Adalah Cermin Bagi Kepribadian Seseorang dan Ketenangan Bagi Orang di Sekitarnya. Pada umumnya, manusia menaruh kepercayaan kepada orang yang kuat dan kokoh pendiriannya, serta kebaikan banyak sekali membekas di hati mereka. Ia dapat menebarkan rasa tenang dan simpati kepada orang lain, sedangkan orang yang lagi kacau pikirannya dan tidak stabil jarang sekali mendapat simpati. Kegoncangan pun melanda orang-orang di sekitarnya. 2. Keteguhan Hati Merupakan Syarat Menuju Keagungan dan Keluruhan Dunia dan Akhirat Setiap cita-cita yang besar perlu keteguhan hati untuk mencapainya. Hal itu berlaku tidak hanya bagi kaum Muslimin, melainkan bagi setiap bangsa yang berambisi mencapai puncak keagungan dan kejayaan di bumi. Semua itu tidak akan terjadi tanpa keteguhan hati yang kuat. 3. Keteguhan Hati Merupakan Jalan Mencapai Tujuan Keteguhan hati merupakan faktor dan jejak penting yang ditinggalkan banyak manusia di dunia ini. Siapa saja yang menjaganya ia pasti dapat mencapai keinginannya atas izin Allah SWT. Tanpa keteguhan hati, ia tidak kan dapat mencapai semua itu kecuali hanya dalam khayalan dan angan-angan. A.7. Ciri-ciri Orang yang Istiqamah Menurut Al-Faqih Abu Laits, sebagaimana yang dikutip oleh Utsman Al-Syakir Al-Khaubawiyyi, ciri keteguhan hati (istiqamah) seseorang ialah apabila ia memelihara lima hal, dengan mewajibkan atas dirinya sendiri, yaitu : 1. Memelihara lisan, supaya tidak menggunjing. Seorang Muslim harus senantiasa memelihara lisannya agar tidak menggunjing orang lain. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat 12 : ...       ... ....Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain... (Depag, 2011: 517). 2. Menghindari Prasangka Buruk. Seorang Muslim harus senantiasa juga menghindari prasangka buruk terhadap orang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 12 :            ...... Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan pra-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari pra-sangka itu dosa....... (Depag, 2011: 517). 3. Tidak Mengejek dan Menghina Orang Lain. Seorang Muslim harus senantiasa menghargai Muslim yang lain dan tidak boleh mengejek serta menghinanya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat 11 :              ...  Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.... (Depag, 2011: 517). 4. Menahan Pandangan dari Hal-hal yang Diharamkan. Seorang Muslim haruslah bisa menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan kepada orang lain, agar tidak dapat menimbulkan fitnah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-nur ayat 30 :             •      Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Depag, 2011: 353) 5. Berucap Benar atau Memelihara Kejujuran Lidah. Seorang Muslim harus senantiasa berucap benar dan memelihara kejujuran lidah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-An’am ayat 152 : ...    ... ...apabila kamu berbicara, maka bicaralah sejujurnya... (Depag, 2011: 149). (https://uuzz.wordpress.com/2011/03/13/5-ciri-ciri-istiqomah-menurut-al-faqih-abu-laits/) A.8. Faktor Yang Dapat Meruntuhkan Sikap Istiqamah Menurut Muhammad bin Hasan (2000: 141) ada lima faktor yang dapat meruntuhkan sikap istiqamah. Jika sebagian atau seluruhnya telah berkumpul di dalam diri seseorang ia akan binasa. Di antara faktor-faktor tersebut adalah : 1. Rasa Khawatir Rasa khawatir adalah penyakit hati dan merupakan penyebab terbesar yang dapat menghancurkan tsabat (keteguhan hati). Kekhawatiran terbagi lagi menjadi khawatir terhadap diri sendiri, khawatir terhadap keluarga dan anak, khawatir terhadap kedudukan dan pangkat. a. Khawatir Terhadap Diri Sendiri Kekhawatiran terhadap diri sendiri termasuk penghalang tsabat terbesar. Adanya anggapan jika tetap berpegang teguh pada agama Allah SWT akan sangat membahayakan diri, tidak diragukan lagi itu merupakan bisikan setan. b. Khawatir Terhadap Keluarga dan Anak Sesungguhnya manusia itu akan diuji dengan anaknya, karena kadang-kadang ia durhaka kepada Allah SWT dan jatuh ke dalam dosa besar lantaran anaknya, kecuali orang yang dijaga Allah SWT. Az-zajjaj berkata, “Allah SWT memberitahukan kepada hamba-Nya bahwa harta dan anak-anak termasuk sarana untuk menguji mereka.” c. Khawatir Terhadap Kedudukan dan Pangkat Kadang-kadang ada seorang Muslimin yang menonjol kesucian dan keperwiraannya. Awalnya ia semangat dan kuat untuk menyebarkan agama Allah SWT. Ketika zaman telah berubah, ia telah menerima berbagai jabatan dan kedudukan. Persoalan dakwah pun ia lupa terhadap segala hal yang pernah ia serukan sebelumnya. Ia merasa puas dengan jabatan duniawi dan hidupnya diisi dengan makan, minum, tidur, dan berbagai kelezatan serta memperluas diri ke dalam hal-hal yang mudah. 2. Ujub Ujub adalah sukacita dan bangga terhadap diri sendiri yang melampaui batasan, ukuran, dan bayangan orang terhadap dirinya sendiri yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Itu merupakan suatu penyakit hati, seperti sombong dan menghina orang. 3. Putus Asa Putus asa merupakan penyakit hati yang mematikan. Jika telah melampaui batasnya yang terakhir dan telah menguasai hati secara keseluruhan, hal itu dapat membawa seorang hamba ke lingkar kufur. 4. Ambisi Harta dan Harta Kekayaan Ambisi jabatan dan harta kekayaan merupakan penyakit hati yang dapat melenyapkan keteguhan banyak orang dan para aktivis Islam. Ia merupakan pintu masuk setan dan masuknya orang-orang yang mempunyai tujuan untuk menyerang orang-orang yang tidak kuat dalam tarbiyah dan belum memiliki persiapan yang sempurna dalam menghadapi ujian yang berat. 5. Cemburu dan Dengki Cemburu dan dengki termasuk penyakit hati yang paling besar pengaruhnya di dalam diri manusia secara umum dan terhadap keteguhannya secara khusus. Karena, orang yang memiliki sifat dengki dan cemburu tidak akan melihat orang lain lebih unggul darinya. B. AKIDAH B.1. Pengertian Akidah 1.1 Secara Bahasa (Etimologi) Kata akidah di ambil dari kata dasar العَقْدُ , yaitu الرَبْطُ (ikatan), الاِبْرَامُ (pengesahan), الاِحْكاَمُ (penguatan), التَوَثُقُ (menjadi kokoh, kuat), الشَدُّ بِقُوَّةٍ (pengikat dengan kuat), التَمَاسُكُ (berpegang atau komitmen terhadap sesuatu), المُرَاصَةُ (pengokohan) dan الاِثْبَاتُ (penetapan). Akidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedangkan pengertian akidah dalam agama maksudnya berkaitan dengan keyakinan, bukan perbuatan. (Abdullah bin Abdul Hamid, 2013: 35). Sedangkan menurut Abdurrahim (2008: 4), akidah berasal dari kata عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقِيْدَةً, yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika masih dipisahkan berarti belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya. Dengan kata lain adalah di artikan sebagai kepercayaan atau keyakinan. 1.2. Secara Istilah (Terminologi) Abdullah bin Abdul Hamid (2013: 36) menjelaskan bahwa akidah ialah perkara yang wajib di benarkan oleh hati dan jiwa, menjadi tentram karenanya sehingga menjadi suatu keyakinan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apa pun pada orang yang meyakininya. Selain itu harus sesuai dengan kenyataannya yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Dinamakan akidah karena orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. Sedangkan menurut Sofyan Sauri (2006: 83), akidah berarti ikatan, atau sesuatu yang mengikat seseorang diikiat oleh sesuatu yang paling mendasar dari dirinya yang memberikan dampak kepada seluruh aspek hidupnya. Sesuatu yang mengikat secara mendasar itu berupa keyakinan. Akidah merupakan aspek keyakinan, yaitu suatu ikatan sseorang dengan Tuhan yang diyakininya. Akidah bersal dari bahasa arab yang berarti ikatan atau sesuatu yang mengikat. Tiap agama memiliki akidahnya masing-masing yang mengikat keyakinan terhadap Tuhan yang terdiri dari Tuhan bapak, anak, dan Ruh Kudus. B.2. Pembagian Dalil dalam Akidah Menurut Abdurrahim (2013: 6) dalil dalam akidah ada 2 di antaranya: 1. Dalil Aqli Dalil aqli adalah dalil yang di dasarkan pada penalaran akal yang sehat. Orang yang tidak mampu mempergunakan akalnya karena ada gangguan, maka tidak di bebani untuk memahami akidah. 2. Dalil Naqli Dalil naqli adalah dalil yang di dasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kebenaran dalil naqli ini bersifat qathiy (pasti), kebenarannya mutlak serta berlaku untuk semua ruang dan waktu. Hal-hal yang tidak dapat di jangkau oleh akal, cukup diyakini kebenarannya tanpa harus membuktikan dengan akal. Termasuk ke dalam bagian ini adalah hakikat hal-hal yang ghaib seperti kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya. B.3. Akidah Islamiyah 1. Pengertian Akidah Islamiyah Menurut Abdullah bin Abdul Hamid (2013: 36) akidah Islamiyah maknanya adalah keimanan yang pasti dan teguh dengan Rububiyah Allah SWT, Uluhiyyah-Nya, Asma dan Sifat-sifat-Nya, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat, takdir baik maupun buruk. Akidah Islamiyah adalah akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai Allah SWT sebagai agama bagi hamba-Nya. Pendapat di atas sama halnya dengan pendapat A.Zakaria (2005: 36), bahwa akidah Islamiyah adalah akidah yang berkaitan dengan keimanan terhadap Allah SWT, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan iman kepada Qadar, yaitu ketentuan Allah SWT yang telah di gariskan sebelum manusia itu sendiri lahir ke dunia. Akidah merupakan misi dakwah yang di bawa oleh Rasul Allah SWT yang pertama sampai dengan yang terakhir. Akidah tidak berubah-ubah karena pergantian zaman dan tempat, atau karena perbedaan golongan atau masyarakat. (Novi Hardian, 2007: 88). Sedangkan menurut Yunasril Ali (2005: 61) akidah Islam (tauhid) merupakan fondamen agama Islam dan menjadi dasar bagi keislaman seseorang. Akidah bukan hanya pengetahuan atau kepercayaan, tetapi keyakinan yang membawa konsekuensi membentuk tingkah laku atau sikap tertentu. Akidah Islam juga adalah tauhid, yakni meyakini ke Esaan Allah baik dalam dzat maupun sifat-Nya. 2. Tujuan Akidah Islamiyah Abdurrahim (2008: 7) juga berpendapat bahwa akidah Islamiyah mempunyai tiga tujuan, di antaranya: a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah harus di peruntukan hanya kepada-Nya. b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya akidah. Karena orang yang lemah akidahnya adakalanya kosong hatinya dan adakalanya terjerumus pada berbagai kesesatan dan khurafat. c. Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat hubungan antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar menghadapi segala persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan. 3. Prinsip Akidah Islamiyah Menurut Abdurrahim (2014: 56) berpendapat mengenai prinsip akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip tersebut ada tiga, di antaranya: a. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Beriman kepada Allah, dan tidak menyekutukan Allah SWT. b. Kepercayaan akan adanya hari kebangkitan. Keyakinan seperti ini memberikan kesadaran bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya. c. Keyakinan bahwa Allah adalah Maha Adil. Jika seperti ini tertanam di dalam hati maka akan menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 4. Pentingnya Akidah Islamiyah Akidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin dan merupakan syarat sahnya semual amal. Begitu pentingnya akidah dalam Islam, sehingga pelurusan akidah adalah dakwah yang pertama kali dilakukan para Rasul, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Di antara point pentingnya akidah Islamiyah ada 4 diantaranya: a. Bahwasanya akidah Islamiyah adalah kewajiban yang paling besar dan yang paling ditekankan. Karena akidah ialah sesuatu yang paling pertama kali di wajibkan kepada manusia. b. Bahwa akidah Islamiyah adalah satu-satunya akidah yang bisa mewujudkan keamanan, kebahagiaan, kedamaian, dan kegembiraan. Sebab, barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Allah dan tidak ada ke khawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati. c. Bahwasanya akidah Islamiyah itu satu-satunya akidah yang bisa mewujudkan kecukupan dan kesejahteraan. Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (http://www.kompasiana.com/musyahid/pentingnya-aqidah-islamiyah 551fb86c813311612c9df672). BAB III ANALISIS PEMBAHASAN A. Definisi Istiqamah Menurut Abdul Halim Al-Fathani (2008: 104) “Istiqamah adalah sikap teguh pendirian dalam ketauhidan dan secara konsisten tetap beramal shaleh. Istiqamah pula dapat diartikan lurus dalam bentuk sejalannya perkataan dengan perbuatan yang dilaksanakan.” Adapun menurut Syekh Abdullah bin Jaarulah (2010: 20), Istiqamah adalah tegak di hadapan Allah SWT dengan menjalankan hakikat kebenaran dan menunaikan janji, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, sikap, dan niat. Dengan kata lain istiqamah adalah menempuh jalan Shiraatal Mustaqim (Al-Islam) dengan tidak mengurangi, memperketat dan memperlonggar. Pendapat tersebut sama halnya dengan pendapat Abu Bakar dan Mujahid, bahwa istiqamah artinya “Engkau tidak menyekutukan Allah SWT sedikit pun”, maksudnya yaitu berada dalam tauhid yang murni dan mulus, serta teguh pendirian di atas syahadat (persaksian) bahwa tiada Tuhan selain Allah sampai mati. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2010: 182). Dari ke tiga pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istiqamah adalah sikap teguh pendirian, kokoh dalam akidah, dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun ia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Ia tidak terpengaruh pada perbuatan-perbuatan setan, tidak terjebak pada gejolak hawa nafsunya dan juga tidak melakukan kesia-siaan. Memiliki sikap istiqamah memang sulit, untuk itu kita selaku umat dan hamba-Nya dituntut untuk mendekati istiqamah dengan cara yang lebih sederhana dan terlebih dahulu, contohnya adalah seseorang yang membaca al-Qur’an sedikit demi sedikit tetapi istiqamah lebih baik daripada membaca al-Quran banyak namun jarang dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: سَدِّدُوْا وَقاَرِبُوْا... (رواه مسليم) Benarlah dan dekatlah kepada istiqamah... (HR.Muslim) (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 25). Hadits di atas sudah memberi kelonggaran kepada kita bahwa apabila kita tidak bisa untuk ber-istiqamah secara sempurna, sebaiknya kita mendekati kepada istiqamah. B. Alasan Seorang Muslim Harus Bersikap Istiqamah Islam merupakan agama yang mengajarkan begitu banyak ajaran terpuji, salah satunya adalah ajaran untuk bersikap istiqamah. Baik dalam al-Qur’an maupun hadits banyak ajaran yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersikap istiqamah dalam kehidupan sehari-hari. Istiqamah adalah kokoh dalam akidah dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun dia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Jika ia kaya, maka ia tidak terlena pada kekayaannya dan jika ia miskin ia tidak larut dalam derita kemiskinannya. Jika ia pernah lupa atau lalai dalam beribadah kepada Allah SWT ini adalah fitrah manusia, maka istiqamah membantunya untuk cepat menyadari kesalahannya. Orang yang istiqamah akan selalu teguh dalam pendiriannya, yakni sebagai orang yang tenang, bertanggung jawab, penuh kasih, dan orang yang bisa menggunakan fungsi akal serta hatinya dengan baik. Istiqamah telah menjadi sebuah keberhasilan dunia dan akhirat. Dengan istiqamah manusia akan terjaga dari hawa nafsu yang melampaui batas. Dengan istiqamah pula manusia akan menemukan banyak hikmah dalam kehidupannya. Tidak ada kerugian bagi kita untuk bersikap istiqamah di jalan Allah SWT. Dengan istiqamah kita akan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Seperti dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Jin ayat 16-17:      •               Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat. (Depag, 2011: 573). Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa orang yang memiliki sikap istiqamah akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat di antaranya ialah akan diberikan minum atau air yang segar berupa rizqi yang banyak nanti di surga-Nya kelak, sedangkan kebahagiaan yang didapatkan di dunia adalah hadirnya pertolongan Allah SWT, dan akan selalu dimudahkan dalam urusannya, sebab orang yang istiqamah sudah menyerahkan hati dan urusannya sepenuhnya hanya kepada Allah SWT. Istiqamah sudah pasti akan mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Namun, selain memberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat istiqamah juga memberikan implikasi positif dan keutamaan dalam kehidupan seorang Muslim. 1. Implikasi Positif Orang yang senantiasa bersikap istiqamah akan mendapatkan tiga implikasi positif, ke tiga implikasi positif itu ialah sebagai berikut: a. Menghadirkan Mahabbah (cinta) kepada Allah SWT Implikasi yang paling menyenangkan saat kita ber-istiqamah adalah menghadirkan mahabbah (cinta) kepada Allah SWT. Tidak mudah mencintai Allah dengan sungguh-sungguh. Banyak orang yang berkata cinta kepada Allah, namun perbuatannya tidak mencerminkan cinta kepada-Nya. Ini sesuai dengan perkaatan Ibnu Arabi, bahwa “Mengerjakan ibadah sunnah secara terus-menerus (istiqamah) akan melahirkan kecintaan ilahi yang terpelihara. (Azizah Hefni, 2015:154). Istiqamah pasti menghadirkan kecintaan kepada Allah SWT. Istiqamah tidak akan lahir dari keterpaksaan dan tidak pula hadir dari tekanan. Sebab, semua yang hadir dari keterpaksaan dan tekanan tidak ada kecintaan dan kegembiraan dalam pelaksanaannya. Allah SWT berfirman dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 31:      •           Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Depag, 2011: 54) Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa apabila kita mencintai Allah, maka itulah jalan-Nya, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebab yang demikian itu dapat menghadirkan cinta Allah pada kita. Segala perbuatan yang Allah ridhai maka laksanakanlah, sebaliknya perbuatan yang Allah tidak sukai dan ridhai maka tinggalkanlah. Pandai-pandailah kita selaku hamba-Nya menghadirkan cinta dan ridha Allah. Sebab, jika Allah sudah cinta dan ridha pada hamba-Nya maka segala kebutuhan yang kita perlukan akan Allah cukupkan, bahkan Allah akan memberi lebih kepada kita. Seperti halnya Nabi terakhir kita yaitu Nabi Muhammad SAW, beliau adalah seorang hamba yang sangat dicintai Allah bahkan sering di sebut sebagai kekasih Allah. b. Menghadirkan Pengetahuan Istiqamah menghadirkan pengetahuan. Orang yang bersikap istiqamah pasti akan terus mencari dan mencari pengetahuan baru. Sebab, apabila ia bertindak ia akan berpikir dan mencari hikmahnya. Saat seseorang sudah sampai pada tingkat menikmati istiqamah, ia akan terus meningkatkan kenikmatan istiqamah-nya. Ia akan mencari tahu apa yang belum ia ketahui, dan ia akan terus menggali kebenaran Allah dengan berbagai macam cara. Cara menggalinya tentu saja dengan melakukan kajian, perenungan, serta pembelajaran. Apalagi orang yang berilmu akan memiliki derajat yang lebih tinggi di mata Allah, dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Ini merupakan motivasi untuk terus dipergunakan untuk mengabdi kepada Allah dan akan terus mengenali Rabb-Nya dengan bebagai cara yang di ridhai-Nya. c. Menghadirkan Pengendalian Diri Orang yang mempunyai sifat istiqamah akan memiliki kontrol yang kuat dalam dirinya. Sebab, orang yang istiqamah menyadari bahwa ada aturan dalam hidup yang mesti mereka taati. Istiqamah juga bisa menciptakan kemampuan mengingat batasan-batasan agama. Ketika kita melakukan suatu kebaikan, maka disitu pula kita menghadirkan kontrol atau pengendalian diri. Kita akan berpikir sebelum bertindak. Kita tidak akan sembarang melakukan segala sesuatu, sebab ada Allah yang tetap melihat kita walau pun di sana tidak ada manusia seorang pun yang melihat kita. Kita selaku umat Muslim dan beriman kepada Allah, tentulah tertarik kepada apa yang telah Allah janjikan pada hamba-Nya yang selalu bersikap teguh, konsisten dan istiqamah dalam menjalani hidup. Sebab, di sana lah Allah sudah menyediakan bebagai kenikmatan dan kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Allah sudah menjamin hamba-Nya yang istiqamah di tempatkan pada sebaik-baiknya tempat yang mulia yakni surga-Nya. 2. Keutamaan Istiqamah Begitu banyak keutamaan yang akan kita peroleh jika kita bisa menerapkan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari kita. Tentu saja, penerapan itu tidak hanya di ranah ibadah, namun juga di ranah muamalah. Di antara keutamaan istiqamah ialah sebagai berikut: a. Kenaikan Derajat Kemuliaan Orang yang senantiasa istiqamah akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Derajatnya akan di angkat setinggi-tingginya baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah. Sebab, tidak semua orang mampu bersikap istiqamah. Hanya orang-orang yang luar biasalah yang mampu melakukan itu. Orang-orang yang bersedia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, meninggalkan maksiat dan keluar dari kebiasaan-kebiasaan yang membuat dirinya sia-sia. Maka dari itu Allah memberikan derajat kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Orang yang selalu istiqamah dalam kebaikan juga, ia akan mendapat penghormatan dan kasih sayang dari sesamanya. Tidak mungkin orang yang istiqamah dalam kebaikan dan kebenaran mendapat kesengsaraan. Kalau pun hidupnya sulit, maka kesulitan itu sesungguhnya adalah cara Allah untuk menaikkan derajatnya. Orang yang memiliki jiwa yang istiqamah, di tengah gelombang perubahan hidup macam apapun ia tetap berdiri sebagai dirinya, sebagai hamba Allah yang patuh. Sebesar godaan yang menghampiri mereka, mereka tidak akan terpengaruh, sebab jiwa mereka sudah terlindungi dan pelindung itu adalah sikap istiqamah mereka. b. Membukakan Pintu Kemenangan Istiqamah akan mengantarkan kita kepada kemenangan. Kemenangan bisa di artikan juga dengan keberhasilan. Istiqamah akan membuat kita berhasil dalam meraih cita-cita. Orang yang istiqamah akan lebih cepat dalam meraih cita-citanya atau keberhasilannya. Sebab, dia dengan tekun dan konsisten malakukan pekerjaan tanpa hentinya, ia akan terus berusaha dan bertawakal sampai cita-citanya terwujud. Sebuah kenyataan sejarah yang perlu kita ingat bahwa di era informai ini telah banyak lahir orang-orang sukses hanya dengan bermodal istiqamah, ketekunan, keuletan, serta doa dan kesabaran. Sebagai contoh yang sangat mudah kita amati adalah banyaknya perusahaan yang didirikan tanpa modal harta dan benda miliaran rupiah, tetapi hanya bermodal ketekunan, kesabaran dan yang jelas doa orang-orang yang bersangkutan. Hotel Akur Optik Yogyakarta kepunyaan H. Musyaih Alwi dan penerbit Pustaka Pelajar serta Toko Buku Sosial Agency kepunyaan Masu’d (Penulis Buku Sukses Bisnis Modal Dengkul) merupakan contoh dari hal ini. Mereka adalah orang-orang yang tiada putus-putusnya tekun berdoa dan berusaha dengan istiqamah pada pekerjaan mereka masing-masing. (Suyadi, 2008: 190). c. Dijamin Masuk Surga Keutamaan yang paling besar dan diharapkan bagi pelaku istiqamah ialah dapat mengantarkan dan mengekalkan seseorang di surga allah SWT, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam firman-Nya Qur’an Surat Al-Ahqaf ayat13-14: •                •        Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.. Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Depag, 2011: 503). Ayat di atas sangat jelas memberitahukan kepada kita bahwa istiqamah bisa menjamin kebahagiaan kita di akhirat. Allah memberikan jaminan bagi orang yang mampu istiqamah berupa surga yang di dalamnya terdapat sungi-sungai yang mengalir, permadani-permadani yang begitu elok dengan kecantikannya serta kenikmatan-kenikmatan lainnya bagi orang yang istiqamah. Sebab, untuk menjadi orang yang istiqamah kita membutuhkan energi ekstra dan sulit dalam penerapannya. Maka dari itu, ketika kita bisa melakukannya, kita mendapatkan apresiasi yang begitu besar dari Allah SWT. C. Meneladani Sikap Istiqamah Bilal bin Rabbah dalam Segi Akidah Akidah merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Akidah seperti laksana pondasi sebuah bangunan. Apabila pondasi rapuh, runtuhlah seluruh tiang yang berdiri di atasnya. Akidah yang lurus dan benar akan melandasi seluruh dimensi kehidupan secara lurus dan benar mulai dari peribadahan (ubudiyah), ekonomi (iqtishadiyyah), kemasyarakatan (ijtimaiyyah), budaya (tsaqafiyyah) dan sektor lainnya. (Uus Ruhiyat, 2014: 139). Sejarah Islam mencatat sebuah perjuangan sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam mempertahankan akidahnya. Bilal adalah seorang budak hamba sahaya yang lahir di daerah As-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah, ibunya bernama Hamamah dan ayahnya bernama Rabbah. Bilal, seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika diperbudak oleh Umayyah bin Khalaf. Bilal dinilai sebagai figur yang tegas dan kuat dalam mempertahankan akidah sekalipun saat Umayyah dan Abu Jahal memperlihatkan kekejaman mereka. Pendirian Bilal tidak bergeser sedikit pun walau nyawanya terancam. Bilal seorang hamba sahaya milik seorang Musyrik Quraisy. Ia berani masuk Islam saat kuatnya kemusyrikan. Dengan kebebasan berpikir yang ada pada dirinya, ia mampu memerangi jalan yang mesti ditempuhnya. Keislaman Bilal harus menempuh ujian yang sangat berat dan berliku. Ia juga harus menebus keyakinan dan keimanannya dengan harta yang sangat mahal. Ia dibaringkan di atas batu yang sangat panas mambara. Saat matahari terik membakar badannya, ia dipaksa untuk meninggalkan keimanannya. Tetapi Bilal tetap teguh dengan pendiriannya sambil terus-menerus mengucapkan “Ahad..! Ahad..! (Allah Maha Esa, Allah Maha Esa). Yakni aku tidak mau berbuat musyrik dan aku tetap beriman kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Sosok Bilal dikagumi sekaligus diidolakan para sahabat saat dirinya mampu mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip yang tidak dapat di toleransi dalam kehidupan Muslim tersebut. Masalah akidah adalah masalah yang sangat penting yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Keimanan menjadi lambang kehidupan menuju masa depan yang penuh dengan pertanggung jawaban. Berkat kegigihan mempertahankan keyakinan itu, Bilal mendapat kehormatan sebagaimana sahabat-sahabat lainnya. Ia bukan hamba sahaya lagi, akan tetapi telah mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Bilal termasuk rombongan yang pertama kali masuk Islam dikalangan hamba sahaya (budak) bersama Siti Khadijah dan juga Ali bin Abi Thalib. Cerita Bilal di atas menunjukkan sikap istiqamah-nya dalam membela dan mempertahankan akidahnya. Sekuat apapun ujian dan cobaan yang Bilal terima tetapi hatinya tidak mau mengubah keimanan yang sudah dia miliki dan percayai. Oleh karena itu, kita sebagai seorang Muslim dan beriman dituntut agar memiliki sikap istiqamah seperti cerita Bilal di atas. Adapun yang dapat dilakukan oleh seorang Muslim dalam menanamkan sikap istiqamah sekaligus upaya yang dapat dilakukan dalam meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah diantaranya ialah sebagai berikut: 1. Kemauan yang Kuat Adanya kemauan dan keinginan yang kuat dari diri kita untuk menjadi Muslim merupakan faktor yang paling dominan. Kemauan yang besar ini merupakan kesadaran diri yang paling berharga. Dengan kesadaran diri ini membuat seseorang punya rasa memiliki terhadap Islam sebagai agamanya sehingga dia akan selalu mempertahankannya. Untuk memiliki keimanan yang mantap dan istiqamah dengan segala aplikasinya, kita pun zaman sekarang ini harus mempunyai kemauan yang kuat untuk menjadi baik, tanpa keinginan atau motivasi yang kuat, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu secara maksimal. Bila sesuatu yang baik dilakukan secara keterpaksaan akan goyah dengan godaan dan tantangan yang akan dihadapinya. Berbeda dengan kemauan dan kesadaran yang datang dari diri sendir,i sebagaimana yang diperlihatkan oleh Bilal bin Rabbah yang siap mempertahankan keimanannya meskipun harus mengahadapi siksaan yang bertubi-tubi, tapi dia tetap mempertahankan keimanannya karena kesadaran dari hati yang paling dalam, dia mempertahankan keislaman dirinya hingga tetes darah terakhir. 2. Pembinaan yang Intensif (Berkesinambungan) Pembinaan yang intensif dan berkesinambungan merupakan cara yang paling efektif dalam mempertahankan sikap istiqamah kita. Seperti halnya Rasulullah melakukan pembinaan yang intensif kepada para sahabat, meskipun sangat sulit untuk bisa berkumpul dengan para sahabat, akan tetapi Rasul tidaklah putus asa dalam mengahadapi kesulitan itu. Alternatif yang dilakukan oleh beliau adalah kumpul dengan para sahabat dan membina mereka pada waktu malam saat manusia sedang tidur dan bubar sebelum subuh saat manusia belum bangun dari tidurnya. Ini berarti bila kita menghendaki lahirnya generasi Islam yang istiqamah dalam keislamannya, diperlukan pembinaan yang intensif dan kita pun selaku umat Muslim harus mengikuti program pembinaan tersebut. 3. Keteladanan yang Meyakinkan Keteladanan yang baik dari para pembimbing umat merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan guna memantapkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam. Meskipun seseorang sudah tahu bahwa ajaran Islam harus dilaksanakannya, dan di hadapan Allah masing-masing orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya di dunia. Tetap saja tanpa keteladan yang baik seseorang masih kurang mantap keislamannya. Itu sebabnya Rasul tidak hanya mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata, dan para sahabat karena mengharap ridha Allah mereka berkenan meneladani Rasul dalam kehidupan sehari-hari. 4. Kerjasama yang Solid Hal yang lain yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian dalam melahirkan generasi terbaik adalah tantangan, hambatan, dan godaan yang tidak kecil. Saking besar dan beratnya tantangan, hambatan dan godaan itu, Rasul menyadari bahwa hal itu tidak mungkin bisa dihadapi seorang diri. Itu sebabnya beliau sangat menekankan agar para sahabat memiliki rasa kebersamaan dan persatuan yang kokoh sehingga dapat saling bekerjasama dan persatuan yang kokoh dalam mengokohkan keimanan di kalangan sesama mereka. Sebagai salah satu contoh yang terjadi ketika Bilal mendapat siksaan yang bertubi-tubi dari tuannya karena mempertahankan iman dan itu hanya bisa diselamatkan dengan cara membebaskan Bilal dari status budak, maka Abu Bakar tidak segan mengeluarkan hartanya guna membebaskan Bilal. Kerjasama yang solid, ukhwah yang indah dan kebersamaan yang mantap merupakan salah satu pilar penting dalam pemantapan iman, apalagi memang sudah terbukti apabila syetan sangat sulit menggoda manusia yang memiliki kemantapan dalam berjamaah. Seperti halnya firman Allah dalam Quran Surat Ali-Imran ayat 103:        ... Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai... (Depag, 2011:63). Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh kepada hamba-Nya agar selalu hidup bersama (berjamaah) dimana pun dan dalam keadaan apapun. 5. Melalui Pembiasaan dan Keteladanan Keluarga Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran orang tua sangat penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari anggota keluarganya sedini mungkin. Keberhasilan penanaman akidah tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan orang tua saja, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Karena itu semuanya harus terlibat. Selain itu, pembiasaan hidup dengan kekuatan akidah itu harus dilakukan secara berulang-ulang (istiqamah) agar menjadi semakin kuat keimanannya. D. Langkah-langkah Menuju Pribadi Istiqamah Orang yang istiqamah berarti menempuh jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus tanpa adanya pembengkokan ke kanan maupun ke kiri. Dan hal itu mencangkup ketaatan secara keseluruhan baik lahir maupu batin serta meninggalkan segala bentuk larangan. Orang yang istiqamah akan selalu merasa dilihat oleh Allah, meskipun Allah tidak ada di hadapannya (ihsan). Maka dari itu, orang yang istiqamah dapat di golongkan sebagai orang yang muhsin. Ia akan selalu merasa takut dan mengecewakan Allah. Seorang yang muhsin selalu berbuat atas dasar keselamatan, kedamaian, kemanfaatan serta ketentraman baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. (Azizah Hefni, 2015: 59). Namun demikian orang yang mencapai derajat muhsin dalam istiqamah sangatlah sulit, sebab kita harus benar-benar menyerahkan diri kita sepenuhunya hanya kepada Allah, serta kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menurut kita sudah terlalu nyaman dengan kebiasaan yang sebelumnya. Awalnya memang sulit untuk dilakukan, tetapi apabila kita bertekad dengan kuat untuk merubah diri kita kepada yang lebih baik, kita juga akan berusaha mencapai hal itu. Adapun beberapa langkah menuju pribadi istiqamah menurut Azizah Hefni (2015: 61) adalah sebagai berikut: 1. Memahami dan Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat Syahadat adalah pilar pertama dalam Islam. Ia berada di atas shalat, shaum, zakat dan haji. Syahadat merupakan titik awal lahirnya keimanan. Namun dengan demikian, syahadat tidak sebatas kalimat yang diucapkan secara lisan. Syahadat memiliki kandungan makna yang begitu besar karena merupakan bentuk persaksian dan sumpah. Banyak orang yang gagal memahami makna syahadat, sekalipun mereka selalu mengucapkannya berkali-kali. Ini karena syahadat tidak cukup dilisankan, namun juga harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti melaksanakan shalat, shaum di bulan ramadhan, menunaikan zakat, melaksanakan kurban, dan lain sebagainya. Kalimat syahadat merupakan asas utama dan landasan terpenting bagi Islam. Syahadat merupakan kunci kita berproses di dunia. Totalitas keimanan dari syahadat akan membawa kita ke jalan Allah secara konsisten (istiqamah). Bersyahadat berarti mengubah keimanan, seluruh pola hidup, dan semua perubahan itu adalah komitmen yang istiqamah. Hal di atas dikuatkan dengan firman Allah dalam Qur’an Surat Ibrahim ayat 27:      •                Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Depag, 2011: 259). Makna “ucapan teguh” di atas maksudnya ialah dua kalimat syahadat sehingga Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat. 2. Mempelajari dan Mengamalkan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam yang akan membuat kita mengerti mana yang haq dan mana yang bathil. Semua yang ada dalam al-Quran selalu mengisahkan kebenaran, memberikan kita petunjuk tentang begitu banyak hal, bahkan yang tidak bisa kita logikakan. Seperti halnya Siti Maryam dia hamil dan melahirkan anaknya tanpa seorang ayah. Bukan hanya hal itu, al-Quran juga memberikan kepada kita informasi tentang keadaan hari akhir, mengisahkan kisah-kisah sejarah para nabi, orang-orang mulia atau orang kafir. Semua diceritakan dengan sangat lengkap, sehinnga kita dapat mengambil hikmah dari berbagai kisah sejarah. Semua yang terkandung di dalam al-Qur’an haruslah kita pelajari dengan baik dan harus kita amalkan. Sebab, jika kita hanya sebatas tahu saja tanpa ada pengamalan dalam kehidupan sehari-hari akan sia-sia. Orang yang terus menerus berinteraksi dengan al-Quran akan merasakan hati yang tenang, damai dan nyaman. Sebab al-Quran juga sebagai obat bagi penyakit hati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Quran Surat Yunus ayat 57:  ••   •           Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Depag, 2011: 215). Ayat di atas menjelaskan bahwa al-Quran mampu menyembuhkan penyakit dalam dada, dengan kata lain penyakit hati, serta petunjuk dan rahmat bagi orang yang ingin memahami al-Quran lebih dalam dan mempelajarinya. 3. Meneladani Rasulullah SAW Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia di muka bumi. Beliau telah membimbing kita dari kesesatan dan penyimpangan keyakinan cahaya keimanan. Tanpa beliau kita tidak akan mungkin bisa mengerti begitu banyak hal indah yang menjadi ajaran Islam. Semua yang dikatakan beliau merupakan wahyu dari Allah. Beliau adalah teladan yang memiliki budi pekerti dan perangai yang baik yang mana kita selaku umatnya harus mengikuti apa yang Rasul perintahkan. Hal tersebut sesuai dengan yang di firmankan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:                   Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Depag, 2011: 420) Ayat di atas sudah jelas menerangkan bahwa Rasulullah adalah pribadi yang patut kita teladani. Sebab, pada diri beliau terdapat suri tauladan yang baik. Oleh karena itu, apabila kita ingin menjadi pribadi dan mempunyai perangai yang baik seperti Rasul maka kita harus mentaatinya, sebab Rasul adalah manusia yang sangat taat kepada Rabb-Nya dan seluruh hidup beliau diserahkan hanya untuk Allah SWT. 4. Bergaul dengan Orang-Orang yang Shaleh Salah satu cara yang bisa membantu kita untuk terus bisa bersikap istiqamah adalah menciptakan suasana yang positif, suasana yang membuat kita enggan melakuan dosa, tidak terpancing dan tidak punya pilihan untuk berbuat dosa. Cara mengupayakannya adalah dengan banyak bergaul bersama orang-orang yang shaleh, sebab bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan membuat diri kita selalu termotivasi untuk melakukan kebaikan dan hal-hal yang positif. Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dan kesesatan karena salah bergaul atau karen teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman yang shaleh. Penjelasan di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman. مَثَلُ الجَلِيْسُ الصَالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ المِسْكِ وَ ناَفِخِ الكِيْرِ,فَحَامِلُ المِسْكِ اَمَّا اَنْ يُحْدِيَكَ وَ اِمَّا اَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَ اِمَّا انْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحاً طَيِّبَةً وَ نَا فِخُ الكِيْرِ اِمَّا اَنْ يُحْرِيْقَ ثِيَا بَكَ وَاِمَّا اَنْ تَجِيْدَ رِيْحًا خَبِيْثَهُ (رواه بخاري و مسلم) Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang yang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikanmu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wngi darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu dan kalau pun tidak engkau tetap akan mendapatkan bau asapnya yang tidak sedap. (HR. Bukhari Muslim) Hadits di atas menjelaskan anjuran untuk bergaul dan berteman dengan orang yang shaleh dan menjauhi teman yang buruk. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam Nawawi bahwa dalam hadits ini terdapat perumpamaan teman yang shaleh dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shaleh dan orang baik yang memiliki akhlak mulia, ilmu dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang yang mempunyai sikap tercela lainnya. (Syarah Shahih Muslim) (http://www.muslim .or.id/ 8879-pengaruh-teman-bergaul.html) Jika kita berteman dan begaul dengan orang yang shaleh, minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan buruk dan maksiat. Teman yang shaleh akan senantiasa menjaga dari maksiat dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan serta meninggalkan kejelekan. Oleh sebab itu, bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan mempengaruhi pola hidup kita serta akan terciptanya jiwa kita yang istiqamah. Sekeras apapun kita berusaha jika kita tetap bergaul dengan orang-orang yang jelek akhlak dan imannya kita tidak akan bisa ber-istiqamah. Jadi dapat di ambil kesimpulan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi pada karakter pribadi kita. 5. Memulai dari Hal yang Sederhana Untuk belajar menerapkan istiqamah dalam diri sendiri adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan. Pembiasaan itu bisa kita mulai dari hal yang sederhana dan paling dekat dengan kita. Membiasakan suatu kegiatan baik namun sederhana asalkan rutin dan istiqamah adalah lebih baik dari pada melaksanakan kebaikan yang banyak namun hanya sementara dan jarang melakukannya. Perbuatan sederhana tetapi rutin dalam pengerjaannya itu bisa lebih efektif menumbuhkan sikap istiqamah dan lebih Allah cintai. Setelah kita sudah memulai dari hal yang sederhana, selanjutnya kita melakukannya dengan bertahap. Hal yang demikian itu kita akan mudah menjadi pribadi yang istiqamah. BAB III ANALISIS PEMBAHASAN A. Definisi Istiqamah Menurut Abdul Halim Al-Fathani (2008: 104) “Istiqamah adalah sikap teguh pendirian dalam ketauhidan dan secara konsisten tetap beramal shaleh. Istiqamah pula dapat diartikan lurus dalam bentuk sejalannya perkataan dengan perbuatan yang dilaksanakan.” Adapun menurut Syekh Abdullah bin Jaarulah (2010: 20), Istiqamah adalah tegak di hadapan Allah SWT dengan menjalankan hakikat kebenaran dan menunaikan janji, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, sikap, dan niat. Dengan kata lain istiqamah adalah menempuh jalan Shiraatal Mustaqim (Al-Islam) dengan tidak mengurangi, memperketat dan memperlonggar. Pendapat tersebut sama halnya dengan pendapat Abu Bakar dan Mujahid, bahwa istiqamah artinya “Engkau tidak menyekutukan Allah SWT sedikit pun”, maksudnya yaitu berada dalam tauhid yang murni dan mulus, serta teguh pendirian di atas syahadat (persaksian) bahwa tiada Tuhan selain Allah sampai mati. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2010: 182). Dari ke tiga pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istiqamah adalah sikap teguh pendirian, kokoh dalam akidah, dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun ia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Ia tidak terpengaruh pada perbuatan-perbuatan setan, tidak terjebak pada gejolak hawa nafsunya dan juga tidak melakukan kesia-siaan. Memiliki sikap istiqamah memang sulit, untuk itu kita selaku umat dan hamba-Nya dituntut untuk mendekati istiqamah dengan cara yang lebih sederhana dan terlebih dahulu, contohnya adalah seseorang yang membaca al-Qur’an sedikit demi sedikit tetapi istiqamah lebih baik daripada membaca al-Quran banyak namun jarang dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: سَدِّدُوْا وَقاَرِبُوْا... (رواه مسليم) Benarlah dan dekatlah kepada istiqamah... (HR.Muslim) (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 25). Hadits di atas sudah memberi kelonggaran kepada kita bahwa apabila kita tidak bisa untuk ber-istiqamah secara sempurna, sebaiknya kita mendekati kepada istiqamah. B. Alasan Seorang Muslim Harus Bersikap Istiqamah Islam merupakan agama yang mengajarkan begitu banyak ajaran terpuji, salah satunya adalah ajaran untuk bersikap istiqamah. Baik dalam al-Qur’an maupun hadits banyak ajaran yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersikap istiqamah dalam kehidupan sehari-hari. Istiqamah adalah kokoh dalam akidah dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun dia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Jika ia kaya, maka ia tidak terlena pada kekayaannya dan jika ia miskin ia tidak larut dalam derita kemiskinannya. Jika ia pernah lupa atau lalai dalam beribadah kepada Allah SWT ini adalah fitrah manusia, maka istiqamah membantunya untuk cepat menyadari kesalahannya. Orang yang istiqamah akan selalu teguh dalam pendiriannya, yakni sebagai orang yang tenang, bertanggung jawab, penuh kasih, dan orang yang bisa menggunakan fungsi akal serta hatinya dengan baik. Istiqamah telah menjadi sebuah keberhasilan dunia dan akhirat. Dengan istiqamah manusia akan terjaga dari hawa nafsu yang melampaui batas. Dengan istiqamah pula manusia akan menemukan banyak hikmah dalam kehidupannya. Tidak ada kerugian bagi kita untuk bersikap istiqamah di jalan Allah SWT. Dengan istiqamah kita akan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Seperti dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Jin ayat 16-17:      •               Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat. (Depag, 2011: 573). Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa orang yang memiliki sikap istiqamah akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat di antaranya ialah akan diberikan minum atau air yang segar berupa rizqi yang banyak nanti di surga-Nya kelak, sedangkan kebahagiaan yang didapatkan di dunia adalah hadirnya pertolongan Allah SWT, dan akan selalu dimudahkan dalam urusannya, sebab orang yang istiqamah sudah menyerahkan hati dan urusannya sepenuhnya hanya kepada Allah SWT. Istiqamah sudah pasti akan mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Namun, selain memberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat istiqamah juga memberikan implikasi positif dan keutamaan dalam kehidupan seorang Muslim. 1. Implikasi Positif Orang yang senantiasa bersikap istiqamah akan mendapatkan tiga implikasi positif, ke tiga implikasi positif itu ialah sebagai berikut: a. Menghadirkan Mahabbah (cinta) kepada Allah SWT Implikasi yang paling menyenangkan saat kita ber-istiqamah adalah menghadirkan mahabbah (cinta) kepada Allah SWT. Tidak mudah mencintai Allah dengan sungguh-sungguh. Banyak orang yang berkata cinta kepada Allah, namun perbuatannya tidak mencerminkan cinta kepada-Nya. Ini sesuai dengan perkaatan Ibnu Arabi, bahwa “Mengerjakan ibadah sunnah secara terus-menerus (istiqamah) akan melahirkan kecintaan ilahi yang terpelihara. (Azizah Hefni, 2015:154). Istiqamah pasti menghadirkan kecintaan kepada Allah SWT. Istiqamah tidak akan lahir dari keterpaksaan dan tidak pula hadir dari tekanan. Sebab, semua yang hadir dari keterpaksaan dan tekanan tidak ada kecintaan dan kegembiraan dalam pelaksanaannya. Allah SWT berfirman dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 31:      •           Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Depag, 2011: 54) Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa apabila kita mencintai Allah, maka itulah jalan-Nya, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebab yang demikian itu dapat menghadirkan cinta Allah pada kita. Segala perbuatan yang Allah ridhai maka laksanakanlah, sebaliknya perbuatan yang Allah tidak sukai dan ridhai maka tinggalkanlah. Pandai-pandailah kita selaku hamba-Nya menghadirkan cinta dan ridha Allah. Sebab, jika Allah sudah cinta dan ridha pada hamba-Nya maka segala kebutuhan yang kita perlukan akan Allah cukupkan, bahkan Allah akan memberi lebih kepada kita. Seperti halnya Nabi terakhir kita yaitu Nabi Muhammad SAW, beliau adalah seorang hamba yang sangat dicintai Allah bahkan sering di sebut sebagai kekasih Allah. b. Menghadirkan Pengetahuan Istiqamah menghadirkan pengetahuan. Orang yang bersikap istiqamah pasti akan terus mencari dan mencari pengetahuan baru. Sebab, apabila ia bertindak ia akan berpikir dan mencari hikmahnya. Saat seseorang sudah sampai pada tingkat menikmati istiqamah, ia akan terus meningkatkan kenikmatan istiqamah-nya. Ia akan mencari tahu apa yang belum ia ketahui, dan ia akan terus menggali kebenaran Allah dengan berbagai macam cara. Cara menggalinya tentu saja dengan melakukan kajian, perenungan, serta pembelajaran. Apalagi orang yang berilmu akan memiliki derajat yang lebih tinggi di mata Allah, dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Ini merupakan motivasi untuk terus dipergunakan untuk mengabdi kepada Allah dan akan terus mengenali Rabb-Nya dengan bebagai cara yang di ridhai-Nya. c. Menghadirkan Pengendalian Diri Orang yang mempunyai sifat istiqamah akan memiliki kontrol yang kuat dalam dirinya. Sebab, orang yang istiqamah menyadari bahwa ada aturan dalam hidup yang mesti mereka taati. Istiqamah juga bisa menciptakan kemampuan mengingat batasan-batasan agama. Ketika kita melakukan suatu kebaikan, maka disitu pula kita menghadirkan kontrol atau pengendalian diri. Kita akan berpikir sebelum bertindak. Kita tidak akan sembarang melakukan segala sesuatu, sebab ada Allah yang tetap melihat kita walau pun di sana tidak ada manusia seorang pun yang melihat kita. Kita selaku umat Muslim dan beriman kepada Allah, tentulah tertarik kepada apa yang telah Allah janjikan pada hamba-Nya yang selalu bersikap teguh, konsisten dan istiqamah dalam menjalani hidup. Sebab, di sana lah Allah sudah menyediakan bebagai kenikmatan dan kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Allah sudah menjamin hamba-Nya yang istiqamah di tempatkan pada sebaik-baiknya tempat yang mulia yakni surga-Nya. 2. Keutamaan Istiqamah Begitu banyak keutamaan yang akan kita peroleh jika kita bisa menerapkan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari kita. Tentu saja, penerapan itu tidak hanya di ranah ibadah, namun juga di ranah muamalah. Di antara keutamaan istiqamah ialah sebagai berikut: a. Kenaikan Derajat Kemuliaan Orang yang senantiasa istiqamah akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Derajatnya akan di angkat setinggi-tingginya baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah. Sebab, tidak semua orang mampu bersikap istiqamah. Hanya orang-orang yang luar biasalah yang mampu melakukan itu. Orang-orang yang bersedia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, meninggalkan maksiat dan keluar dari kebiasaan-kebiasaan yang membuat dirinya sia-sia. Maka dari itu Allah memberikan derajat kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Orang yang selalu istiqamah dalam kebaikan juga, ia akan mendapat penghormatan dan kasih sayang dari sesamanya. Tidak mungkin orang yang istiqamah dalam kebaikan dan kebenaran mendapat kesengsaraan. Kalau pun hidupnya sulit, maka kesulitan itu sesungguhnya adalah cara Allah untuk menaikkan derajatnya. Orang yang memiliki jiwa yang istiqamah, di tengah gelombang perubahan hidup macam apapun ia tetap berdiri sebagai dirinya, sebagai hamba Allah yang patuh. Sebesar godaan yang menghampiri mereka, mereka tidak akan terpengaruh, sebab jiwa mereka sudah terlindungi dan pelindung itu adalah sikap istiqamah mereka. b. Membukakan Pintu Kemenangan Istiqamah akan mengantarkan kita kepada kemenangan. Kemenangan bisa di artikan juga dengan keberhasilan. Istiqamah akan membuat kita berhasil dalam meraih cita-cita. Orang yang istiqamah akan lebih cepat dalam meraih cita-citanya atau keberhasilannya. Sebab, dia dengan tekun dan konsisten malakukan pekerjaan tanpa hentinya, ia akan terus berusaha dan bertawakal sampai cita-citanya terwujud. Sebuah kenyataan sejarah yang perlu kita ingat bahwa di era informai ini telah banyak lahir orang-orang sukses hanya dengan bermodal istiqamah, ketekunan, keuletan, serta doa dan kesabaran. Sebagai contoh yang sangat mudah kita amati adalah banyaknya perusahaan yang didirikan tanpa modal harta dan benda miliaran rupiah, tetapi hanya bermodal ketekunan, kesabaran dan yang jelas doa orang-orang yang bersangkutan. Hotel Akur Optik Yogyakarta kepunyaan H. Musyaih Alwi dan penerbit Pustaka Pelajar serta Toko Buku Sosial Agency kepunyaan Masu’d (Penulis Buku Sukses Bisnis Modal Dengkul) merupakan contoh dari hal ini. Mereka adalah orang-orang yang tiada putus-putusnya tekun berdoa dan berusaha dengan istiqamah pada pekerjaan mereka masing-masing. (Suyadi, 2008: 190). c. Dijamin Masuk Surga Keutamaan yang paling besar dan diharapkan bagi pelaku istiqamah ialah dapat mengantarkan dan mengekalkan seseorang di surga allah SWT, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam firman-Nya Qur’an Surat Al-Ahqaf ayat13-14: •                •        Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.. Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Depag, 2011: 503). Ayat di atas sangat jelas memberitahukan kepada kita bahwa istiqamah bisa menjamin kebahagiaan kita di akhirat. Allah memberikan jaminan bagi orang yang mampu istiqamah berupa surga yang di dalamnya terdapat sungi-sungai yang mengalir, permadani-permadani yang begitu elok dengan kecantikannya serta kenikmatan-kenikmatan lainnya bagi orang yang istiqamah. Sebab, untuk menjadi orang yang istiqamah kita membutuhkan energi ekstra dan sulit dalam penerapannya. Maka dari itu, ketika kita bisa melakukannya, kita mendapatkan apresiasi yang begitu besar dari Allah SWT. C. Meneladani Sikap Istiqamah Bilal bin Rabbah dalam Segi Akidah Akidah merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Akidah seperti laksana pondasi sebuah bangunan. Apabila pondasi rapuh, runtuhlah seluruh tiang yang berdiri di atasnya. Akidah yang lurus dan benar akan melandasi seluruh dimensi kehidupan secara lurus dan benar mulai dari peribadahan (ubudiyah), ekonomi (iqtishadiyyah), kemasyarakatan (ijtimaiyyah), budaya (tsaqafiyyah) dan sektor lainnya. (Uus Ruhiyat, 2014: 139). Sejarah Islam mencatat sebuah perjuangan sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam mempertahankan akidahnya. Bilal adalah seorang budak hamba sahaya yang lahir di daerah As-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah, ibunya bernama Hamamah dan ayahnya bernama Rabbah. Bilal, seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika diperbudak oleh Umayyah bin Khalaf. Bilal dinilai sebagai figur yang tegas dan kuat dalam mempertahankan akidah sekalipun saat Umayyah dan Abu Jahal memperlihatkan kekejaman mereka. Pendirian Bilal tidak bergeser sedikit pun walau nyawanya terancam. Bilal seorang hamba sahaya milik seorang Musyrik Quraisy. Ia berani masuk Islam saat kuatnya kemusyrikan. Dengan kebebasan berpikir yang ada pada dirinya, ia mampu memerangi jalan yang mesti ditempuhnya. Keislaman Bilal harus menempuh ujian yang sangat berat dan berliku. Ia juga harus menebus keyakinan dan keimanannya dengan harta yang sangat mahal. Ia dibaringkan di atas batu yang sangat panas mambara. Saat matahari terik membakar badannya, ia dipaksa untuk meninggalkan keimanannya. Tetapi Bilal tetap teguh dengan pendiriannya sambil terus-menerus mengucapkan “Ahad..! Ahad..! (Allah Maha Esa, Allah Maha Esa). Yakni aku tidak mau berbuat musyrik dan aku tetap beriman kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Sosok Bilal dikagumi sekaligus diidolakan para sahabat saat dirinya mampu mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip yang tidak dapat di toleransi dalam kehidupan Muslim tersebut. Masalah akidah adalah masalah yang sangat penting yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Keimanan menjadi lambang kehidupan menuju masa depan yang penuh dengan pertanggung jawaban. Berkat kegigihan mempertahankan keyakinan itu, Bilal mendapat kehormatan sebagaimana sahabat-sahabat lainnya. Ia bukan hamba sahaya lagi, akan tetapi telah mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Bilal termasuk rombongan yang pertama kali masuk Islam dikalangan hamba sahaya (budak) bersama Siti Khadijah dan juga Ali bin Abi Thalib. Cerita Bilal di atas menunjukkan sikap istiqamah-nya dalam membela dan mempertahankan akidahnya. Sekuat apapun ujian dan cobaan yang Bilal terima tetapi hatinya tidak mau mengubah keimanan yang sudah dia miliki dan percayai. Oleh karena itu, kita sebagai seorang Muslim dan beriman dituntut agar memiliki sikap istiqamah seperti cerita Bilal di atas. Adapun yang dapat dilakukan oleh seorang Muslim dalam menanamkan sikap istiqamah sekaligus upaya yang dapat dilakukan dalam meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah diantaranya ialah sebagai berikut: 1. Kemauan yang Kuat Adanya kemauan dan keinginan yang kuat dari diri kita untuk menjadi Muslim merupakan faktor yang paling dominan. Kemauan yang besar ini merupakan kesadaran diri yang paling berharga. Dengan kesadaran diri ini membuat seseorang punya rasa memiliki terhadap Islam sebagai agamanya sehingga dia akan selalu mempertahankannya. Untuk memiliki keimanan yang mantap dan istiqamah dengan segala aplikasinya, kita pun zaman sekarang ini harus mempunyai kemauan yang kuat untuk menjadi baik, tanpa keinginan atau motivasi yang kuat, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu secara maksimal. Bila sesuatu yang baik dilakukan secara keterpaksaan akan goyah dengan godaan dan tantangan yang akan dihadapinya. Berbeda dengan kemauan dan kesadaran yang datang dari diri sendir,i sebagaimana yang diperlihatkan oleh Bilal bin Rabbah yang siap mempertahankan keimanannya meskipun harus mengahadapi siksaan yang bertubi-tubi, tapi dia tetap mempertahankan keimanannya karena kesadaran dari hati yang paling dalam, dia mempertahankan keislaman dirinya hingga tetes darah terakhir. 2. Pembinaan yang Intensif (Berkesinambungan) Pembinaan yang intensif dan berkesinambungan merupakan cara yang paling efektif dalam mempertahankan sikap istiqamah kita. Seperti halnya Rasulullah melakukan pembinaan yang intensif kepada para sahabat, meskipun sangat sulit untuk bisa berkumpul dengan para sahabat, akan tetapi Rasul tidaklah putus asa dalam mengahadapi kesulitan itu. Alternatif yang dilakukan oleh beliau adalah kumpul dengan para sahabat dan membina mereka pada waktu malam saat manusia sedang tidur dan bubar sebelum subuh saat manusia belum bangun dari tidurnya. Ini berarti bila kita menghendaki lahirnya generasi Islam yang istiqamah dalam keislamannya, diperlukan pembinaan yang intensif dan kita pun selaku umat Muslim harus mengikuti program pembinaan tersebut. 3. Keteladanan yang Meyakinkan Keteladanan yang baik dari para pembimbing umat merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan guna memantapkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam. Meskipun seseorang sudah tahu bahwa ajaran Islam harus dilaksanakannya, dan di hadapan Allah masing-masing orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya di dunia. Tetap saja tanpa keteladan yang baik seseorang masih kurang mantap keislamannya. Itu sebabnya Rasul tidak hanya mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata, dan para sahabat karena mengharap ridha Allah mereka berkenan meneladani Rasul dalam kehidupan sehari-hari. 4. Kerjasama yang Solid Hal yang lain yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian dalam melahirkan generasi terbaik adalah tantangan, hambatan, dan godaan yang tidak kecil. Saking besar dan beratnya tantangan, hambatan dan godaan itu, Rasul menyadari bahwa hal itu tidak mungkin bisa dihadapi seorang diri. Itu sebabnya beliau sangat menekankan agar para sahabat memiliki rasa kebersamaan dan persatuan yang kokoh sehingga dapat saling bekerjasama dan persatuan yang kokoh dalam mengokohkan keimanan di kalangan sesama mereka. Sebagai salah satu contoh yang terjadi ketika Bilal mendapat siksaan yang bertubi-tubi dari tuannya karena mempertahankan iman dan itu hanya bisa diselamatkan dengan cara membebaskan Bilal dari status budak, maka Abu Bakar tidak segan mengeluarkan hartanya guna membebaskan Bilal. Kerjasama yang solid, ukhwah yang indah dan kebersamaan yang mantap merupakan salah satu pilar penting dalam pemantapan iman, apalagi memang sudah terbukti apabila syetan sangat sulit menggoda manusia yang memiliki kemantapan dalam berjamaah. Seperti halnya firman Allah dalam Quran Surat Ali-Imran ayat 103:        ... Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai... (Depag, 2011:63). Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh kepada hamba-Nya agar selalu hidup bersama (berjamaah) dimana pun dan dalam keadaan apapun. 5. Melalui Pembiasaan dan Keteladanan Keluarga Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran orang tua sangat penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari anggota keluarganya sedini mungkin. Keberhasilan penanaman akidah tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan orang tua saja, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Karena itu semuanya harus terlibat. Selain itu, pembiasaan hidup dengan kekuatan akidah itu harus dilakukan secara berulang-ulang (istiqamah) agar menjadi semakin kuat keimanannya. D. Langkah-langkah Menuju Pribadi Istiqamah Orang yang istiqamah berarti menempuh jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus tanpa adanya pembengkokan ke kanan maupun ke kiri. Dan hal itu mencangkup ketaatan secara keseluruhan baik lahir maupu batin serta meninggalkan segala bentuk larangan. Orang yang istiqamah akan selalu merasa dilihat oleh Allah, meskipun Allah tidak ada di hadapannya (ihsan). Maka dari itu, orang yang istiqamah dapat di golongkan sebagai orang yang muhsin. Ia akan selalu merasa takut dan mengecewakan Allah. Seorang yang muhsin selalu berbuat atas dasar keselamatan, kedamaian, kemanfaatan serta ketentraman baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. (Azizah Hefni, 2015: 59). Namun demikian orang yang mencapai derajat muhsin dalam istiqamah sangatlah sulit, sebab kita harus benar-benar menyerahkan diri kita sepenuhunya hanya kepada Allah, serta kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menurut kita sudah terlalu nyaman dengan kebiasaan yang sebelumnya. Awalnya memang sulit untuk dilakukan, tetapi apabila kita bertekad dengan kuat untuk merubah diri kita kepada yang lebih baik, kita juga akan berusaha mencapai hal itu. Adapun beberapa langkah menuju pribadi istiqamah menurut Azizah Hefni (2015: 61) adalah sebagai berikut: 1. Memahami dan Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat Syahadat adalah pilar pertama dalam Islam. Ia berada di atas shalat, shaum, zakat dan haji. Syahadat merupakan titik awal lahirnya keimanan. Namun dengan demikian, syahadat tidak sebatas kalimat yang diucapkan secara lisan. Syahadat memiliki kandungan makna yang begitu besar karena merupakan bentuk persaksian dan sumpah. Banyak orang yang gagal memahami makna syahadat, sekalipun mereka selalu mengucapkannya berkali-kali. Ini karena syahadat tidak cukup dilisankan, namun juga harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti melaksanakan shalat, shaum di bulan ramadhan, menunaikan zakat, melaksanakan kurban, dan lain sebagainya. Kalimat syahadat merupakan asas utama dan landasan terpenting bagi Islam. Syahadat merupakan kunci kita berproses di dunia. Totalitas keimanan dari syahadat akan membawa kita ke jalan Allah secara konsisten (istiqamah). Bersyahadat berarti mengubah keimanan, seluruh pola hidup, dan semua perubahan itu adalah komitmen yang istiqamah. Hal di atas dikuatkan dengan firman Allah dalam Qur’an Surat Ibrahim ayat 27:      •                Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Depag, 2011: 259). Makna “ucapan teguh” di atas maksudnya ialah dua kalimat syahadat sehingga Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat. 2. Mempelajari dan Mengamalkan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam yang akan membuat kita mengerti mana yang haq dan mana yang bathil. Semua yang ada dalam al-Quran selalu mengisahkan kebenaran, memberikan kita petunjuk tentang begitu banyak hal, bahkan yang tidak bisa kita logikakan. Seperti halnya Siti Maryam dia hamil dan melahirkan anaknya tanpa seorang ayah. Bukan hanya hal itu, al-Quran juga memberikan kepada kita informasi tentang keadaan hari akhir, mengisahkan kisah-kisah sejarah para nabi, orang-orang mulia atau orang kafir. Semua diceritakan dengan sangat lengkap, sehinnga kita dapat mengambil hikmah dari berbagai kisah sejarah. Semua yang terkandung di dalam al-Qur’an haruslah kita pelajari dengan baik dan harus kita amalkan. Sebab, jika kita hanya sebatas tahu saja tanpa ada pengamalan dalam kehidupan sehari-hari akan sia-sia. Orang yang terus menerus berinteraksi dengan al-Quran akan merasakan hati yang tenang, damai dan nyaman. Sebab al-Quran juga sebagai obat bagi penyakit hati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Quran Surat Yunus ayat 57:  ••   •           Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Depag, 2011: 215). Ayat di atas menjelaskan bahwa al-Quran mampu menyembuhkan penyakit dalam dada, dengan kata lain penyakit hati, serta petunjuk dan rahmat bagi orang yang ingin memahami al-Quran lebih dalam dan mempelajarinya. 3. Meneladani Rasulullah SAW Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia di muka bumi. Beliau telah membimbing kita dari kesesatan dan penyimpangan keyakinan cahaya keimanan. Tanpa beliau kita tidak akan mungkin bisa mengerti begitu banyak hal indah yang menjadi ajaran Islam. Semua yang dikatakan beliau merupakan wahyu dari Allah. Beliau adalah teladan yang memiliki budi pekerti dan perangai yang baik yang mana kita selaku umatnya harus mengikuti apa yang Rasul perintahkan. Hal tersebut sesuai dengan yang di firmankan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:                   Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Depag, 2011: 420) Ayat di atas sudah jelas menerangkan bahwa Rasulullah adalah pribadi yang patut kita teladani. Sebab, pada diri beliau terdapat suri tauladan yang baik. Oleh karena itu, apabila kita ingin menjadi pribadi dan mempunyai perangai yang baik seperti Rasul maka kita harus mentaatinya, sebab Rasul adalah manusia yang sangat taat kepada Rabb-Nya dan seluruh hidup beliau diserahkan hanya untuk Allah SWT. 4. Bergaul dengan Orang-Orang yang Shaleh Salah satu cara yang bisa membantu kita untuk terus bisa bersikap istiqamah adalah menciptakan suasana yang positif, suasana yang membuat kita enggan melakuan dosa, tidak terpancing dan tidak punya pilihan untuk berbuat dosa. Cara mengupayakannya adalah dengan banyak bergaul bersama orang-orang yang shaleh, sebab bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan membuat diri kita selalu termotivasi untuk melakukan kebaikan dan hal-hal yang positif. Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dan kesesatan karena salah bergaul atau karen teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman yang shaleh. Penjelasan di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman. مَثَلُ الجَلِيْسُ الصَالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ المِسْكِ وَ ناَفِخِ الكِيْرِ,فَحَامِلُ المِسْكِ اَمَّا اَنْ يُحْدِيَكَ وَ اِمَّا اَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَ اِمَّا انْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحاً طَيِّبَةً وَ نَا فِخُ الكِيْرِ اِمَّا اَنْ يُحْرِيْقَ ثِيَا بَكَ وَاِمَّا اَنْ تَجِيْدَ رِيْحًا خَبِيْثَهُ (رواه بخاري و مسلم) Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang yang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikanmu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wngi darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu dan kalau pun tidak engkau tetap akan mendapatkan bau asapnya yang tidak sedap. (HR. Bukhari Muslim) Hadits di atas menjelaskan anjuran untuk bergaul dan berteman dengan orang yang shaleh dan menjauhi teman yang buruk. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam Nawawi bahwa dalam hadits ini terdapat perumpamaan teman yang shaleh dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shaleh dan orang baik yang memiliki akhlak mulia, ilmu dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang yang mempunyai sikap tercela lainnya. (Syarah Shahih Muslim) (http://www.muslim .or.id/ 8879-pengaruh-teman-bergaul.html) Jika kita berteman dan begaul dengan orang yang shaleh, minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan buruk dan maksiat. Teman yang shaleh akan senantiasa menjaga dari maksiat dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan serta meninggalkan kejelekan. Oleh sebab itu, bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan mempengaruhi pola hidup kita serta akan terciptanya jiwa kita yang istiqamah. Sekeras apapun kita berusaha jika kita tetap bergaul dengan orang-orang yang jelek akhlak dan imannya kita tidak akan bisa ber-istiqamah. Jadi dapat di ambil kesimpulan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi pada karakter pribadi kita. 5. Memulai dari Hal yang Sederhana Untuk belajar menerapkan istiqamah dalam diri sendiri adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan. Pembiasaan itu bisa kita mulai dari hal yang sederhana dan paling dekat dengan kita. Membiasakan suatu kegiatan baik namun sederhana asalkan rutin dan istiqamah adalah lebih baik dari pada melaksanakan kebaikan yang banyak namun hanya sementara dan jarang melakukannya. Perbuatan sederhana tetapi rutin dalam pengerjaannya itu bisa lebih efektif menumbuhkan sikap istiqamah dan lebih Allah cintai. Setelah kita sudah memulai dari hal yang sederhana, selanjutnya kita melakukannya dengan bertahap. Hal yang demikian itu kita akan mudah menjadi pribadi yang istiqamah. BAB III b ANALISIS PEMBAHASAN A. Definisi Istiqamah Menurut Abdul Halim Al-Fathani (2008: 104) “Istiqamah adalah sikap teguh pendirian dalam ketauhidan dan secara konsisten tetap beramal shaleh. Istiqamah pula dapat diartikan lurus dalam bentuk sejalannya perkataan dengan perbuatan yang dilaksanakan.” Adapun menurut Syekh Abdullah bin Jaarulah (2010: 20), Istiqamah adalah tegak di hadapan Allah SWT dengan menjalankan hakikat kebenaran dan menunaikan janji, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, sikap, dan niat. Dengan kata lain istiqamah adalah menempuh jalan Shiraatal Mustaqim (Al-Islam) dengan tidak mengurangi, memperketat dan memperlonggar. Pendapat tersebut sama halnya dengan pendapat Abu Bakar dan Mujahid, bahwa istiqamah artinya “Engkau tidak menyekutukan Allah SWT sedikit pun”, maksudnya yaitu berada dalam tauhid yang murni dan mulus, serta teguh pendirian di atas syahadat (persaksian) bahwa tiada Tuhan selain Allah sampai mati. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2010: 182). Dari ke tiga pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istiqamah adalah sikap teguh pendirian, kokoh dalam akidah, dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun ia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Ia tidak terpengaruh pada perbuatan-perbuatan setan, tidak terjebak pada gejolak hawa nafsunya dan juga tidak melakukan kesia-siaan. Memiliki sikap istiqamah memang sulit, untuk itu kita selaku umat dan hamba-Nya dituntut untuk mendekati istiqamah dengan cara yang lebih sederhana dan terlebih dahulu, contohnya adalah seseorang yang membaca al-Qur’an sedikit demi sedikit tetapi istiqamah lebih baik daripada membaca al-Quran banyak namun jarang dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: سَدِّدُوْا وَقاَرِبُوْا... (رواه مسليم) Benarlah dan dekatlah kepada istiqamah... (HR.Muslim) (Syekh Abdullah bin Jaarullah, 2010: 25). Hadits di atas sudah memberi kelonggaran kepada kita bahwa apabila kita tidak bisa untuk ber-istiqamah secara sempurna, sebaiknya kita mendekati kepada istiqamah. B. Alasan Seorang Muslim Harus Bersikap Istiqamah Islam merupakan agama yang mengajarkan begitu banyak ajaran terpuji, salah satunya adalah ajaran untuk bersikap istiqamah. Baik dalam al-Qur’an maupun hadits banyak ajaran yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersikap istiqamah dalam kehidupan sehari-hari. Istiqamah adalah kokoh dalam akidah dan konsisten dalam beribadah. Dalam keadaan apapun, sesulit atau sesenang apapun dia tetap konsisten dalam keadaan sadar. Jika ia kaya, maka ia tidak terlena pada kekayaannya dan jika ia miskin ia tidak larut dalam derita kemiskinannya. Jika ia pernah lupa atau lalai dalam beribadah kepada Allah SWT ini adalah fitrah manusia, maka istiqamah membantunya untuk cepat menyadari kesalahannya. Orang yang istiqamah akan selalu teguh dalam pendiriannya, yakni sebagai orang yang tenang, bertanggung jawab, penuh kasih, dan orang yang bisa menggunakan fungsi akal serta hatinya dengan baik. Istiqamah telah menjadi sebuah keberhasilan dunia dan akhirat. Dengan istiqamah manusia akan terjaga dari hawa nafsu yang melampaui batas. Dengan istiqamah pula manusia akan menemukan banyak hikmah dalam kehidupannya. Tidak ada kerugian bagi kita untuk bersikap istiqamah di jalan Allah SWT. Dengan istiqamah kita akan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Seperti dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Jin ayat 16-17:      •               Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat. (Depag, 2011: 573). Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa orang yang memiliki sikap istiqamah akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat di antaranya ialah akan diberikan minum atau air yang segar berupa rizqi yang banyak nanti di surga-Nya kelak, sedangkan kebahagiaan yang didapatkan di dunia adalah hadirnya pertolongan Allah SWT, dan akan selalu dimudahkan dalam urusannya, sebab orang yang istiqamah sudah menyerahkan hati dan urusannya sepenuhnya hanya kepada Allah SWT. Istiqamah sudah pasti akan mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Namun, selain memberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat istiqamah juga memberikan implikasi positif dan keutamaan dalam kehidupan seorang Muslim. 1. Implikasi Positif Orang yang senantiasa bersikap istiqamah akan mendapatkan tiga implikasi positif, ke tiga implikasi positif itu ialah sebagai berikut: a. Menghadirkan Mahabbah (cinta) kepada Allah SWT Implikasi yang paling menyenangkan saat kita ber-istiqamah adalah menghadirkan mahabbah (cinta) kepada Allah SWT. Tidak mudah mencintai Allah dengan sungguh-sungguh. Banyak orang yang berkata cinta kepada Allah, namun perbuatannya tidak mencerminkan cinta kepada-Nya. Ini sesuai dengan perkaatan Ibnu Arabi, bahwa “Mengerjakan ibadah sunnah secara terus-menerus (istiqamah) akan melahirkan kecintaan ilahi yang terpelihara. (Azizah Hefni, 2015:154). Istiqamah pasti menghadirkan kecintaan kepada Allah SWT. Istiqamah tidak akan lahir dari keterpaksaan dan tidak pula hadir dari tekanan. Sebab, semua yang hadir dari keterpaksaan dan tekanan tidak ada kecintaan dan kegembiraan dalam pelaksanaannya. Allah SWT berfirman dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 31:      •           Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Depag, 2011: 54) Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa apabila kita mencintai Allah, maka itulah jalan-Nya, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebab yang demikian itu dapat menghadirkan cinta Allah pada kita. Segala perbuatan yang Allah ridhai maka laksanakanlah, sebaliknya perbuatan yang Allah tidak sukai dan ridhai maka tinggalkanlah. Pandai-pandailah kita selaku hamba-Nya menghadirkan cinta dan ridha Allah. Sebab, jika Allah sudah cinta dan ridha pada hamba-Nya maka segala kebutuhan yang kita perlukan akan Allah cukupkan, bahkan Allah akan memberi lebih kepada kita. Seperti halnya Nabi terakhir kita yaitu Nabi Muhammad SAW, beliau adalah seorang hamba yang sangat dicintai Allah bahkan sering di sebut sebagai kekasih Allah. b. Menghadirkan Pengetahuan Istiqamah menghadirkan pengetahuan. Orang yang bersikap istiqamah pasti akan terus mencari dan mencari pengetahuan baru. Sebab, apabila ia bertindak ia akan berpikir dan mencari hikmahnya. Saat seseorang sudah sampai pada tingkat menikmati istiqamah, ia akan terus meningkatkan kenikmatan istiqamah-nya. Ia akan mencari tahu apa yang belum ia ketahui, dan ia akan terus menggali kebenaran Allah dengan berbagai macam cara. Cara menggalinya tentu saja dengan melakukan kajian, perenungan, serta pembelajaran. Apalagi orang yang berilmu akan memiliki derajat yang lebih tinggi di mata Allah, dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Ini merupakan motivasi untuk terus dipergunakan untuk mengabdi kepada Allah dan akan terus mengenali Rabb-Nya dengan bebagai cara yang di ridhai-Nya. c. Menghadirkan Pengendalian Diri Orang yang mempunyai sifat istiqamah akan memiliki kontrol yang kuat dalam dirinya. Sebab, orang yang istiqamah menyadari bahwa ada aturan dalam hidup yang mesti mereka taati. Istiqamah juga bisa menciptakan kemampuan mengingat batasan-batasan agama. Ketika kita melakukan suatu kebaikan, maka disitu pula kita menghadirkan kontrol atau pengendalian diri. Kita akan berpikir sebelum bertindak. Kita tidak akan sembarang melakukan segala sesuatu, sebab ada Allah yang tetap melihat kita walau pun di sana tidak ada manusia seorang pun yang melihat kita. Kita selaku umat Muslim dan beriman kepada Allah, tentulah tertarik kepada apa yang telah Allah janjikan pada hamba-Nya yang selalu bersikap teguh, konsisten dan istiqamah dalam menjalani hidup. Sebab, di sana lah Allah sudah menyediakan bebagai kenikmatan dan kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Allah sudah menjamin hamba-Nya yang istiqamah di tempatkan pada sebaik-baiknya tempat yang mulia yakni surga-Nya. 2. Keutamaan Istiqamah Begitu banyak keutamaan yang akan kita peroleh jika kita bisa menerapkan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari kita. Tentu saja, penerapan itu tidak hanya di ranah ibadah, namun juga di ranah muamalah. Di antara keutamaan istiqamah ialah sebagai berikut: a. Kenaikan Derajat Kemuliaan Orang yang senantiasa istiqamah akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Derajatnya akan di angkat setinggi-tingginya baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah. Sebab, tidak semua orang mampu bersikap istiqamah. Hanya orang-orang yang luar biasalah yang mampu melakukan itu. Orang-orang yang bersedia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, meninggalkan maksiat dan keluar dari kebiasaan-kebiasaan yang membuat dirinya sia-sia. Maka dari itu Allah memberikan derajat kemuliaan bagi orang yang istiqamah. Orang yang selalu istiqamah dalam kebaikan juga, ia akan mendapat penghormatan dan kasih sayang dari sesamanya. Tidak mungkin orang yang istiqamah dalam kebaikan dan kebenaran mendapat kesengsaraan. Kalau pun hidupnya sulit, maka kesulitan itu sesungguhnya adalah cara Allah untuk menaikkan derajatnya. Orang yang memiliki jiwa yang istiqamah, di tengah gelombang perubahan hidup macam apapun ia tetap berdiri sebagai dirinya, sebagai hamba Allah yang patuh. Sebesar godaan yang menghampiri mereka, mereka tidak akan terpengaruh, sebab jiwa mereka sudah terlindungi dan pelindung itu adalah sikap istiqamah mereka. b. Membukakan Pintu Kemenangan Istiqamah akan mengantarkan kita kepada kemenangan. Kemenangan bisa di artikan juga dengan keberhasilan. Istiqamah akan membuat kita berhasil dalam meraih cita-cita. Orang yang istiqamah akan lebih cepat dalam meraih cita-citanya atau keberhasilannya. Sebab, dia dengan tekun dan konsisten malakukan pekerjaan tanpa hentinya, ia akan terus berusaha dan bertawakal sampai cita-citanya terwujud. Sebuah kenyataan sejarah yang perlu kita ingat bahwa di era informai ini telah banyak lahir orang-orang sukses hanya dengan bermodal istiqamah, ketekunan, keuletan, serta doa dan kesabaran. Sebagai contoh yang sangat mudah kita amati adalah banyaknya perusahaan yang didirikan tanpa modal harta dan benda miliaran rupiah, tetapi hanya bermodal ketekunan, kesabaran dan yang jelas doa orang-orang yang bersangkutan. Hotel Akur Optik Yogyakarta kepunyaan H. Musyaih Alwi dan penerbit Pustaka Pelajar serta Toko Buku Sosial Agency kepunyaan Masu’d (Penulis Buku Sukses Bisnis Modal Dengkul) merupakan contoh dari hal ini. Mereka adalah orang-orang yang tiada putus-putusnya tekun berdoa dan berusaha dengan istiqamah pada pekerjaan mereka masing-masing. (Suyadi, 2008: 190). c. Dijamin Masuk Surga Keutamaan yang paling besar dan diharapkan bagi pelaku istiqamah ialah dapat mengantarkan dan mengekalkan seseorang di surga allah SWT, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam firman-Nya Qur’an Surat Al-Ahqaf ayat13-14: •                •        Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.. Mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Depag, 2011: 503). Ayat di atas sangat jelas memberitahukan kepada kita bahwa istiqamah bisa menjamin kebahagiaan kita di akhirat. Allah memberikan jaminan bagi orang yang mampu istiqamah berupa surga yang di dalamnya terdapat sungi-sungai yang mengalir, permadani-permadani yang begitu elok dengan kecantikannya serta kenikmatan-kenikmatan lainnya bagi orang yang istiqamah. Sebab, untuk menjadi orang yang istiqamah kita membutuhkan energi ekstra dan sulit dalam penerapannya. Maka dari itu, ketika kita bisa melakukannya, kita mendapatkan apresiasi yang begitu besar dari Allah SWT. C. Meneladani Sikap Istiqamah Bilal bin Rabbah dalam Segi Akidah Akidah merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Akidah seperti laksana pondasi sebuah bangunan. Apabila pondasi rapuh, runtuhlah seluruh tiang yang berdiri di atasnya. Akidah yang lurus dan benar akan melandasi seluruh dimensi kehidupan secara lurus dan benar mulai dari peribadahan (ubudiyah), ekonomi (iqtishadiyyah), kemasyarakatan (ijtimaiyyah), budaya (tsaqafiyyah) dan sektor lainnya. (Uus Ruhiyat, 2014: 139). Sejarah Islam mencatat sebuah perjuangan sikap istiqamah Bilal bin Rabbah dalam mempertahankan akidahnya. Bilal adalah seorang budak hamba sahaya yang lahir di daerah As-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah, ibunya bernama Hamamah dan ayahnya bernama Rabbah. Bilal, seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika diperbudak oleh Umayyah bin Khalaf. Bilal dinilai sebagai figur yang tegas dan kuat dalam mempertahankan akidah sekalipun saat Umayyah dan Abu Jahal memperlihatkan kekejaman mereka. Pendirian Bilal tidak bergeser sedikit pun walau nyawanya terancam. Bilal seorang hamba sahaya milik seorang Musyrik Quraisy. Ia berani masuk Islam saat kuatnya kemusyrikan. Dengan kebebasan berpikir yang ada pada dirinya, ia mampu memerangi jalan yang mesti ditempuhnya. Keislaman Bilal harus menempuh ujian yang sangat berat dan berliku. Ia juga harus menebus keyakinan dan keimanannya dengan harta yang sangat mahal. Ia dibaringkan di atas batu yang sangat panas mambara. Saat matahari terik membakar badannya, ia dipaksa untuk meninggalkan keimanannya. Tetapi Bilal tetap teguh dengan pendiriannya sambil terus-menerus mengucapkan “Ahad..! Ahad..! (Allah Maha Esa, Allah Maha Esa). Yakni aku tidak mau berbuat musyrik dan aku tetap beriman kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Sosok Bilal dikagumi sekaligus diidolakan para sahabat saat dirinya mampu mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip yang tidak dapat di toleransi dalam kehidupan Muslim tersebut. Masalah akidah adalah masalah yang sangat penting yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Keimanan menjadi lambang kehidupan menuju masa depan yang penuh dengan pertanggung jawaban. Berkat kegigihan mempertahankan keyakinan itu, Bilal mendapat kehormatan sebagaimana sahabat-sahabat lainnya. Ia bukan hamba sahaya lagi, akan tetapi telah mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Bilal termasuk rombongan yang pertama kali masuk Islam dikalangan hamba sahaya (budak) bersama Siti Khadijah dan juga Ali bin Abi Thalib. Cerita Bilal di atas menunjukkan sikap istiqamah-nya dalam membela dan mempertahankan akidahnya. Sekuat apapun ujian dan cobaan yang Bilal terima tetapi hatinya tidak mau mengubah keimanan yang sudah dia miliki dan percayai. Oleh karena itu, kita sebagai seorang Muslim dan beriman dituntut agar memiliki sikap istiqamah seperti cerita Bilal di atas. Adapun yang dapat dilakukan oleh seorang Muslim dalam menanamkan sikap istiqamah sekaligus upaya yang dapat dilakukan dalam meneladani sikap istiqamah Bilal bin Rabbah diantaranya ialah sebagai berikut: 1. Kemauan yang Kuat Adanya kemauan dan keinginan yang kuat dari diri kita untuk menjadi Muslim merupakan faktor yang paling dominan. Kemauan yang besar ini merupakan kesadaran diri yang paling berharga. Dengan kesadaran diri ini membuat seseorang punya rasa memiliki terhadap Islam sebagai agamanya sehingga dia akan selalu mempertahankannya. Untuk memiliki keimanan yang mantap dan istiqamah dengan segala aplikasinya, kita pun zaman sekarang ini harus mempunyai kemauan yang kuat untuk menjadi baik, tanpa keinginan atau motivasi yang kuat, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu secara maksimal. Bila sesuatu yang baik dilakukan secara keterpaksaan akan goyah dengan godaan dan tantangan yang akan dihadapinya. Berbeda dengan kemauan dan kesadaran yang datang dari diri sendir,i sebagaimana yang diperlihatkan oleh Bilal bin Rabbah yang siap mempertahankan keimanannya meskipun harus mengahadapi siksaan yang bertubi-tubi, tapi dia tetap mempertahankan keimanannya karena kesadaran dari hati yang paling dalam, dia mempertahankan keislaman dirinya hingga tetes darah terakhir. 2. Pembinaan yang Intensif (Berkesinambungan) Pembinaan yang intensif dan berkesinambungan merupakan cara yang paling efektif dalam mempertahankan sikap istiqamah kita. Seperti halnya Rasulullah melakukan pembinaan yang intensif kepada para sahabat, meskipun sangat sulit untuk bisa berkumpul dengan para sahabat, akan tetapi Rasul tidaklah putus asa dalam mengahadapi kesulitan itu. Alternatif yang dilakukan oleh beliau adalah kumpul dengan para sahabat dan membina mereka pada waktu malam saat manusia sedang tidur dan bubar sebelum subuh saat manusia belum bangun dari tidurnya. Ini berarti bila kita menghendaki lahirnya generasi Islam yang istiqamah dalam keislamannya, diperlukan pembinaan yang intensif dan kita pun selaku umat Muslim harus mengikuti program pembinaan tersebut. 3. Keteladanan yang Meyakinkan Keteladanan yang baik dari para pembimbing umat merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan guna memantapkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam. Meskipun seseorang sudah tahu bahwa ajaran Islam harus dilaksanakannya, dan di hadapan Allah masing-masing orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya di dunia. Tetap saja tanpa keteladan yang baik seseorang masih kurang mantap keislamannya. Itu sebabnya Rasul tidak hanya mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata, dan para sahabat karena mengharap ridha Allah mereka berkenan meneladani Rasul dalam kehidupan sehari-hari. 4. Kerjasama yang Solid Hal yang lain yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian dalam melahirkan generasi terbaik adalah tantangan, hambatan, dan godaan yang tidak kecil. Saking besar dan beratnya tantangan, hambatan dan godaan itu, Rasul menyadari bahwa hal itu tidak mungkin bisa dihadapi seorang diri. Itu sebabnya beliau sangat menekankan agar para sahabat memiliki rasa kebersamaan dan persatuan yang kokoh sehingga dapat saling bekerjasama dan persatuan yang kokoh dalam mengokohkan keimanan di kalangan sesama mereka. Sebagai salah satu contoh yang terjadi ketika Bilal mendapat siksaan yang bertubi-tubi dari tuannya karena mempertahankan iman dan itu hanya bisa diselamatkan dengan cara membebaskan Bilal dari status budak, maka Abu Bakar tidak segan mengeluarkan hartanya guna membebaskan Bilal. Kerjasama yang solid, ukhwah yang indah dan kebersamaan yang mantap merupakan salah satu pilar penting dalam pemantapan iman, apalagi memang sudah terbukti apabila syetan sangat sulit menggoda manusia yang memiliki kemantapan dalam berjamaah. Seperti halnya firman Allah dalam Quran Surat Ali-Imran ayat 103:        ... Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai... (Depag, 2011:63). Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh kepada hamba-Nya agar selalu hidup bersama (berjamaah) dimana pun dan dalam keadaan apapun. 5. Melalui Pembiasaan dan Keteladanan Keluarga Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran orang tua sangat penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari anggota keluarganya sedini mungkin. Keberhasilan penanaman akidah tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan orang tua saja, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Karena itu semuanya harus terlibat. Selain itu, pembiasaan hidup dengan kekuatan akidah itu harus dilakukan secara berulang-ulang (istiqamah) agar menjadi semakin kuat keimanannya. D. Langkah-langkah Menuju Pribadi Istiqamah Orang yang istiqamah berarti menempuh jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus tanpa adanya pembengkokan ke kanan maupun ke kiri. Dan hal itu mencangkup ketaatan secara keseluruhan baik lahir maupu batin serta meninggalkan segala bentuk larangan. Orang yang istiqamah akan selalu merasa dilihat oleh Allah, meskipun Allah tidak ada di hadapannya (ihsan). Maka dari itu, orang yang istiqamah dapat di golongkan sebagai orang yang muhsin. Ia akan selalu merasa takut dan mengecewakan Allah. Seorang yang muhsin selalu berbuat atas dasar keselamatan, kedamaian, kemanfaatan serta ketentraman baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. (Azizah Hefni, 2015: 59). Namun demikian orang yang mencapai derajat muhsin dalam istiqamah sangatlah sulit, sebab kita harus benar-benar menyerahkan diri kita sepenuhunya hanya kepada Allah, serta kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menurut kita sudah terlalu nyaman dengan kebiasaan yang sebelumnya. Awalnya memang sulit untuk dilakukan, tetapi apabila kita bertekad dengan kuat untuk merubah diri kita kepada yang lebih baik, kita juga akan berusaha mencapai hal itu. Adapun beberapa langkah menuju pribadi istiqamah menurut Azizah Hefni (2015: 61) adalah sebagai berikut: 1. Memahami dan Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat Syahadat adalah pilar pertama dalam Islam. Ia berada di atas shalat, shaum, zakat dan haji. Syahadat merupakan titik awal lahirnya keimanan. Namun dengan demikian, syahadat tidak sebatas kalimat yang diucapkan secara lisan. Syahadat memiliki kandungan makna yang begitu besar karena merupakan bentuk persaksian dan sumpah. Banyak orang yang gagal memahami makna syahadat, sekalipun mereka selalu mengucapkannya berkali-kali. Ini karena syahadat tidak cukup dilisankan, namun juga harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti melaksanakan shalat, shaum di bulan ramadhan, menunaikan zakat, melaksanakan kurban, dan lain sebagainya. Kalimat syahadat merupakan asas utama dan landasan terpenting bagi Islam. Syahadat merupakan kunci kita berproses di dunia. Totalitas keimanan dari syahadat akan membawa kita ke jalan Allah secara konsisten (istiqamah). Bersyahadat berarti mengubah keimanan, seluruh pola hidup, dan semua perubahan itu adalah komitmen yang istiqamah. Hal di atas dikuatkan dengan firman Allah dalam Qur’an Surat Ibrahim ayat 27:      •                Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Depag, 2011: 259). Makna “ucapan teguh” di atas maksudnya ialah dua kalimat syahadat sehingga Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat. 2. Mempelajari dan Mengamalkan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam yang akan membuat kita mengerti mana yang haq dan mana yang bathil. Semua yang ada dalam al-Quran selalu mengisahkan kebenaran, memberikan kita petunjuk tentang begitu banyak hal, bahkan yang tidak bisa kita logikakan. Seperti halnya Siti Maryam dia hamil dan melahirkan anaknya tanpa seorang ayah. Bukan hanya hal itu, al-Quran juga memberikan kepada kita informasi tentang keadaan hari akhir, mengisahkan kisah-kisah sejarah para nabi, orang-orang mulia atau orang kafir. Semua diceritakan dengan sangat lengkap, sehinnga kita dapat mengambil hikmah dari berbagai kisah sejarah. Semua yang terkandung di dalam al-Qur’an haruslah kita pelajari dengan baik dan harus kita amalkan. Sebab, jika kita hanya sebatas tahu saja tanpa ada pengamalan dalam kehidupan sehari-hari akan sia-sia. Orang yang terus menerus berinteraksi dengan al-Quran akan merasakan hati yang tenang, damai dan nyaman. Sebab al-Quran juga sebagai obat bagi penyakit hati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Quran Surat Yunus ayat 57:  ••   •           Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Depag, 2011: 215). Ayat di atas menjelaskan bahwa al-Quran mampu menyembuhkan penyakit dalam dada, dengan kata lain penyakit hati, serta petunjuk dan rahmat bagi orang yang ingin memahami al-Quran lebih dalam dan mempelajarinya. 3. Meneladani Rasulullah SAW Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mulia di muka bumi. Beliau telah membimbing kita dari kesesatan dan penyimpangan keyakinan cahaya keimanan. Tanpa beliau kita tidak akan mungkin bisa mengerti begitu banyak hal indah yang menjadi ajaran Islam. Semua yang dikatakan beliau merupakan wahyu dari Allah. Beliau adalah teladan yang memiliki budi pekerti dan perangai yang baik yang mana kita selaku umatnya harus mengikuti apa yang Rasul perintahkan. Hal tersebut sesuai dengan yang di firmankan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:                   Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Depag, 2011: 420) Ayat di atas sudah jelas menerangkan bahwa Rasulullah adalah pribadi yang patut kita teladani. Sebab, pada diri beliau terdapat suri tauladan yang baik. Oleh karena itu, apabila kita ingin menjadi pribadi dan mempunyai perangai yang baik seperti Rasul maka kita harus mentaatinya, sebab Rasul adalah manusia yang sangat taat kepada Rabb-Nya dan seluruh hidup beliau diserahkan hanya untuk Allah SWT. 4. Bergaul dengan Orang-Orang yang Shaleh Salah satu cara yang bisa membantu kita untuk terus bisa bersikap istiqamah adalah menciptakan suasana yang positif, suasana yang membuat kita enggan melakuan dosa, tidak terpancing dan tidak punya pilihan untuk berbuat dosa. Cara mengupayakannya adalah dengan banyak bergaul bersama orang-orang yang shaleh, sebab bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan membuat diri kita selalu termotivasi untuk melakukan kebaikan dan hal-hal yang positif. Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dan kesesatan karena salah bergaul atau karen teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman yang shaleh. Penjelasan di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman. مَثَلُ الجَلِيْسُ الصَالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ المِسْكِ وَ ناَفِخِ الكِيْرِ,فَحَامِلُ المِسْكِ اَمَّا اَنْ يُحْدِيَكَ وَ اِمَّا اَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَ اِمَّا انْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحاً طَيِّبَةً وَ نَا فِخُ الكِيْرِ اِمَّا اَنْ يُحْرِيْقَ ثِيَا بَكَ وَاِمَّا اَنْ تَجِيْدَ رِيْحًا خَبِيْثَهُ (رواه بخاري و مسلم) Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang yang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikanmu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wngi darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu dan kalau pun tidak engkau tetap akan mendapatkan bau asapnya yang tidak sedap. (HR. Bukhari Muslim) Hadits di atas menjelaskan anjuran untuk bergaul dan berteman dengan orang yang shaleh dan menjauhi teman yang buruk. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam Nawawi bahwa dalam hadits ini terdapat perumpamaan teman yang shaleh dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shaleh dan orang baik yang memiliki akhlak mulia, ilmu dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang yang mempunyai sikap tercela lainnya. (Syarah Shahih Muslim) (http://www.muslim .or.id/ 8879-pengaruh-teman-bergaul.html) Jika kita berteman dan begaul dengan orang yang shaleh, minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan buruk dan maksiat. Teman yang shaleh akan senantiasa menjaga dari maksiat dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan serta meninggalkan kejelekan. Oleh sebab itu, bergaul dengan orang-orang yang shaleh akan mempengaruhi pola hidup kita serta akan terciptanya jiwa kita yang istiqamah. Sekeras apapun kita berusaha jika kita tetap bergaul dengan orang-orang yang jelek akhlak dan imannya kita tidak akan bisa ber-istiqamah. Jadi dapat di ambil kesimpulan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi pada karakter pribadi kita. 5. Memulai dari Hal yang Sederhana Untuk belajar menerapkan istiqamah dalam diri sendiri adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan. Pembiasaan itu bisa kita mulai dari hal yang sederhana dan paling dekat dengan kita. Membiasakan suatu kegiatan baik namun sederhana asalkan rutin dan istiqamah adalah lebih baik dari pada melaksanakan kebaikan yang banyak namun hanya sementara dan jarang melakukannya. Perbuatan sederhana tetapi rutin dalam pengerjaannya itu bisa lebih efektif menumbuhkan sikap istiqamah dan lebih Allah cintai. Setelah kita sudah memulai dari hal yang sederhana, selanjutnya kita melakukannya dengan bertahap. Hal yang demikian itu kita akan mudah menjadi pribadi yang istiqamah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar